BATAM – Tim gabungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyegel aktivitas reklamasi di Kampung Klembak dan tambak udang di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (06/07).
Direktur Jendral Penegakan Hukum KLHK, Rido Sani mengatakan, reklamasi di Kelambak, Kecamatan Nongsa, dilakukan oleh PT Sakti Cemerlang telah menyebabkan kerusakan ekosistem dengan penimbunan anak sungai yang tidak sesuai aturan di wilayah tersebut.
Penyegelan ini dilakukan setelah tim penyidik KLHK melakukan verifikasi lapangan terkait laporan kerusakan lingkungan akibat reklamasi pantai di daerah tersebut.
“Izin yang dimiliki oleh perusahaan tersebut masih belum jelas,” kata dia.
Pihaknya juga berencana memanggil pihak pengembang guna memperoleh keterangan mengenai izin reklamasi.
“Jadi untuk sementara aktivitas reklamasi di kawasan ini harus dihentikan dulu,” kata dia.
Tuntutan untuk menghentikan aktivitas reklamasi di daerah tersebut juga disuarakan Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin.
Ia menilai, dampak kerusakan ekosistem dianggap sangat berbahaya, sehingga perlu segera dihentikan.
Terhadap adanya dugaan bahwa terdapat pihak-pihak tertentu yang mendukung aktivitas reklamasi ini, pihak berwenang menyebut hal tersebut sebagai hal yang umum terjadi. Mereka juga berencana untuk memanggil semua pihak terlibat agar aktivitas reklamasi tidak merugikan masyarakat sekitar.
“Kalau ada oknum yang beking itu, dia tidak tahu dampak kerusakannya seperti apa. Nanti kita panggil semua yang terlibat,” kata dia.
Tambak Udang Disegel
Tim KLHK, KKP dan DPR RI juga menyegel tambak udang ilegal di kawasan Rempang Cate, Batam.
Tambak udang tersebut merupakan milik PT Dwimitra Mandiri Prima, PT Tahai Sunhok Jaya Utama, dan PT Golden Beach Resort, yang beroperasi di kawasan hutan yang seharusnya belum boleh dikonversi tanpa pelepasan.
Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin menyatakan, bahwa izin yang dimiliki oleh ketiga perusahaan tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa izin yang diajukan melalui OSS seharusnya hanya mikro, tetapi ukuran tambak udang ini tidak kecil, melainkan bernilai miliaran. “Kalau mikro di bawah Rp200 juta,” kata Sudin.
Selain itu, terdapat indikasi penimbunan mangrove yang dapat merusak ekosistem di lokasi tersebut.
Sudin menjelaskan bahwa pemilik tambak hanya boleh menjalankan usaha hingga panen, setelah itu harus menutup kembali.
Namun, dalam setelah ia berunding dengan Dirjen Gakum KLHK dan KKP, mereka sepakat memberikan toleransi selama 5 bulan ke depan sebelum mengevaluasi kembali.
“Tadi sudah berunding sama KKP dan Dirjen Gakkum kami beri kebijakan tak boleh merugikan pengusaha, sampai panen baru tidak boleh lagi dijalankan. Kalau sekarang kita eksekusi kasihan, pengusaha kadang kurang mengerti peraturan yang ada. Sampai 5 bulan ke depan baru kita tinjau kembali,” kata dia.
Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebut, ada indikasi pelanggaran dan dugaan tindak pidana kehutanan khususnya di lokasi tambak udang ini.
Tim mereka sedang melakukan investigasi dan mengambil tindakan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Luas area yang telah dibuka di kawasan hutan ini mencapai 9 hektare,” kata dia.
Kerusakan mangrove juga menjadi fokus penelitian mereka. Ketiga perusahaan ini diduga melanggar undang-undang lingkungan hidup dan kehutanan.
Dirjen PSDKP KKP, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, menjelaskan bahwa tambak udang yang dibangun di kawasan tersebut adalah konversi dari hutan mangrove menjadi area usaha.
Namun, pembangunan tambak ini mengindikasikan tindakan ilegal yang melibatkan penebangan mangrove.
Dalam hal teknis pengelolaan tambak udang, mengacu pada PP No 5, seharusnya tamabak udang masuk dalam kategori usaha mikro.
“Tapi kalau dilihat ini bukan kategori tambak udang mikro, tetapi usaha skala menengah. Ini juga dianggap ilegal,” kata dia.
Baca juga: KKP Segel Keramba Jaring Apung Tak Sesuai Perizinan di Batam
Berdasarkan Undang-undang Ciptakerja dan PP No 5, pelaku usaha diberikan waktu hingga 4 bulan untuk memanen hasil tambaknya. Namun, setelah itu, tambak harus ditutup secara total.
Langkah penyegelan ini dilakukan sebagai peringatan bahwa pelaku usaha telah melanggar undang-undang. Tujuannya adalah menegakkan hukum sambil memperhatikan kelangsungan ekonomi.
“Tapi jika dalam 4 bulan ke depan tidak perubahan maka akan kita tutup total,” kata dia. (*)
Ikuti Berita Lainnya diĀ Google News