Menolak Lupa: 17 Tahun Kasus Munir Masih Gelap

munir
17 tahun kematian Munir Said Thalib. (Foto : Tangkapan layar YouTube Jakartanicus)

Menurut Suciwati, dokumen TPF bukan menjadi satu-satunya pintu masuk untuk mengusut kembali kasus Munir. Ada banyak solusi bagi Jokowi untuk bisa berbuat seperti memanggil kembali mantan anggota TPF dan menindaklanjuti fakta persidangan.

“Kita bisa melihat di sana bagaimana hakim memutuskan bahwa ini adalah pemufakatan jahat. Itu sudah jelas sekali, dan itu kemudian diignore. Jadi, buat kami sebagai keluarga korban itu hal yang sangat mengerikan sebagai sebuah negara yang katanya harusnya menegakkan hukum dan hak asasi, itu tidak ada,” ucap dia.

Titip Asa Generasi Muda
Suciwati mengaku sudah hilang harapan terhadap pemerintahan saat ini. Penegakkan dan perlindungan hak asasi, menurut dia, sudah masuk ke dalam kondisi krisis.

Terlebih menurutnya orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir justru sempat menjadi bagian dari tim transisi pemerintahan Jokowi periode pertama. Karena itu Suciwati mengaku sudah tak berharap pada rezim saat ini.

“Pada rezim ini saya enggak punya harapan,” kata Suciwati.

Tidak putus asa. Kunci bagi Suciwati menjaga harapan agar tetap menyala. Ia mengakui merasa lelah dan ‘marah’ sebab 17 tahun waktu yang sangat panjang. Solusi menjaga perjuangan agar terus berlanjut, terang Suciwati, adalah dengan mengajak generasi muda untuk memahami HAM.

“Rezim ini enggak akan terus ada. Yang penting itu mendidik anak muda dalam perspektif penegakan HAM. Dan perlawanan itu terus ada, kita buat. Karena banyak sekali hal-hal yang akan kita lakukan ke depan,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan sangat merindukan sosok seperti Munir. “Bukan hanya seorang suami, seorang ayah, tapi seorang yang bisa bersuara dengan lantang dan terus-menerus membuat kita berpikir dan bertindak kritis,” kenang dia.

Pelanggaran HAM Berat

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, menilai pembunuhan Munir merupakan kejahatan kemanusiaan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat.

Arif yang juga merupakan aktivis Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) pun mendesak agar pengusutan dilakukan dengan pengecualian prinsip kedaluwarsa karena sebelumnya ditangani melalui mekanisme hukum pidana sebagai pembunuhan berencana.

Jika dalam kerangka penegakan hukum kasus tindak pidana biasa, ada batas waktu 18 tahun. “Ini kemudian oleh teman-teman KASUM coba kita kritisi dan kita dorong agar aparat penegak hukum kemudian betul-betul jeli untuk kemudian melakukan penegakan hukum secara adil dengan melihat bahwa kasus Cak Munir sebetulnya enggak boleh dilihat sebagai kasus tindak pidana biasa,” kata Arif dalam diskusi daring, Minggu (5/9).

KASUM yang beranggotakan koalisi aktivis dari KontraS, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, dan LBH Jakarta menyerahkan legal opinion atas kasus Munir ke Komnas HAM pada 2020.

Arif meyakini pembunuhan Munir layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sejumlah unsur telah terpenuhi setidaknya unsur pembunuhan dan penyiksaan. Serta melibatkan institusi negara dalam hal ini BIN.

“Jika tidak [ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat], kami khawatir bahwa kasus ini kemudian berhenti proses penegakannya dan para pelaku berlindung di balik impunitas, di balik dalil kedaluwarsa,” kata Arif.

Aktivis KASUM lainnya, Bivitri Susanti, menegaskan korban belum memperoleh keadilan dalam kasus pembunuhan terhadap Munir. Ia menilai penting penyelesaian kasus Munir secara tuntas demi perlindungan para pembela HAM.

“Pengungkapan kasus bertujuan untuk belajar dari masa lalu dan ke depan bagaimana menjadi negara hukum yang substantif,” kata Bivitri.

Ia menambahkan, rezim berganti tidak melepaskan tanggung jawab negara untuk menuntaskan kasus ini. Dalam hal ini, Bivitri menyinggung dokumen hasil investigasi TPF yang dinyatakan hilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *