Pabrik Uranium Rusia Meledak, Satu Tewas dan Bahaya Radiasi Nuklir Mengancam

Ilustrasi pembangkit listrik nuklir (PLTN). (Foto:Istimewa)

JAKARTA – Pabrik pengayaan uranium Electrochemical Combine milik Rusia di Ural meledak hebat, Jumat (14/07) malam waktu setempat, dan menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak terkait ancaman bahaya radiasi yang akan terjadi.

Akibat insiden tersebut, seorang pekerja di pabrik yang sudah berusia 65 tahun itu tewas dan 100 orang dilaporkan luka-luka akibat musibah tersebut. Pabrikan pemurnian uranium tersebut merupakan yang terbesar di dunia.

Sementara, pihak Ural Electrochemical Combine mengungkapkan, insiden ledakan itu terjadi akibat depresurisasi di sebuah silider yang berisi uranium heksafluorida yang sudah habis.

Lantas perusahaan nuklir negara Rusia, langsung menerbitkan sebuah pernyataan untuk meredakan kekhawatiran terkait bahaya radiasi dari ledakan bahan bakar nuklir tersebut.

“Sekitar pukul 09.00 pagi waktu setempat, sebuah silinder dengan uranium heksafluorida yang sudah habis mengalami penurunan tekanan di sebuah bengkel di Ural Electrochemical Combine di Novouralsk,” sebut Rosatom, Dilansir dari Newsweek.

Demikian pernyataan dari Rosatom, pemilik pabrik yang merupakan pabrik pengayaan uranium terbesar di dunia. Uranium hexafluoride adalah bahan kimia, yang digunakan selama proses pengayaan uranium.

Kantor berita milik pemerintah Rusia, RIA Novosti, mengutip sebuah sumber di layanan darurat yang mengatakan, bahwa tingkat radiasi di fasilitas tersebut masih normal.

Rosatom juga mengatakan, insiden itu segera diatasi dan menambahkan bahwa tidak ada risiko bagi orang-orang yang tinggal di dekat pabrik.

“Bengkel sedang dibersihkan. Selebihnya beroperasi secara normal,” kata perusahaan itu.

“Pengukuran radiasi latar belakang dilakukan di lokasi. Jumlahnya mencapai 0,17 mikrosieverts, yang sesuai dengan nilai alamiah,” tambahnya.

Rata-rata global radiasi latar belakang yang terjadi secara alami adalah 0,17-0,39 microsieverts per jam, Reuters sebelumnya melaporkan, mengutip Asosiasi Nuklir Dunia.