IndexU-TV

Pajak Hiburan “Cekik” Pelaku Usaha

Pajak
Ilustrasi pajak. (Foto: Dok freepik)

Dunia hiburan mendadak berkabung di awal tahun 2024 setelah menguras energi besar bertahan dihantam COVID-19.

Pengusaha hiburan malam bak dipaksa menelan pil pahit setelah pesta keuntungan merayakan Tahun Baru 2024. Satu persatu pengusaha hiburan malam mulai menjerit menyuarakan betapa besarnya “upeti” berbentuk pajak yang harus dibayar ke negara.

Mereka keberatan membayar pajak hiburan berkisar 40-75 persen, yang berlaku di berbagai daerah. Peningkatan pajak hiburan yang bombastis itu seperti tsunami yang akan menyapu tempat usaha mereka.

Polemik pun sampai sekarang muncul ketika pemilik diskotik, klub malam, karaeke dan spa seperti penyanyi dangdut Tanah Air, Inul Daratista dan pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea mendesar pemerintah tidak menaikkan pajak hiburan yang merupakan mandaroti dari UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno ikut mengomentari persoalan itu.

Hotman dalam berbagai kesempatan menyatakan kenaikan pajak yang drastis seolah mencekik pelaku usaha jasa hiburan. Dengan angka yang tinggi itu, kemungkinan akan mempengaruhi pelaku usaha pariwisata bidang jasa hiburan.

Tidak hanya berpolemik di nasional, kenaikan pajak hiburan juga disorot sejumlah kalangan di daerah, terutama di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pasalnya, Kota Batam menjadi salah daerah sasaran penerapan pajak tersebut.

Lantas bagaimana respons di Kepri terkait pajak hiburan itu.

Ganggu Pariwisata

Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas) Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan kebijakan kenaikan pajak hiburan akan mengganggu sektor pariwisata.

Hal itu disampaikan Ketua Asparnas Kepri, Mulyadi Tan, sehubungan dengan naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen.

Mulyadi mengatakan, dengan kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen pasti akan mengganggu sektor pariwisata.

“Kenaikan pajak hiburan pasti pariwisata akan terganggu. Saya kira dalam membuat kebijakan harus melihat sisi bisnis juga,” kata Mulyadi.

Menurutnya, kebijakan dibuat bertujuan baik. Namun pada akhirnya, tidak akan ada yang mampu membayar pajak sebesar itu.

“Yang membuat kebijakan itu tujuannya sih baik ya, mungkin untuk penerimaan. Tapi akhirnya tidak ada yang bayar karena ketinggian,”sambungnya.

“Akhirnya nol juga penerimaan dan perusahaan pada bangkrut. Pajak PB 1 ini kan di tanggung oleh konsumen tapi siapa konsumen yang mau bayar pajak setinggi itu,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika tarif pajak kecil dan semua pengusaha akan taat pajak, maka akan banyak menyerap tenaga kerja.

“Tapi kalau tarif tinggi, tidak ada yang datang, dan ujungnya usaha tutup dan pengangguran meningkat. Simpel saja kok logika pemikirannya,” tutupnya.

Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badan Pengurus Daerah (BPD) Kepulauan Riau (Kepri) juga menyoroti penetapan tarif pajak hiburan naik drastis sebesar 40-75 persen.

Baca juga: Ketua Komisi II DPRD Kepri Berharap Ada Win-Win Solution Soal Pajak Hiburan 40 Persen

Baca juga: Ribut-Ribut Pajak Hiburan 40 Persen Jokowi Gelar Ratas, Berikut Keputusannya

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

Exit mobile version