Paradigma Hukum Progresif Bagi Hakim Indonesia

hukum
Ilustrasi hukum. (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

Gagasan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang luas dan istilah hukum progresif sekarang sudah mulai banyak digunakan. Pada intinya gagasan Hukum Progresif ingin mendorong komunitas pekerja hukum untuk berani membuat terobosan dalam menjalankan hukum di Indonesia dan tidak hanya dibelenggu oleh pikiran positivistis dan legal analytical. Disarankan tidak hanya untuk rule making, rule abiding, tetapi rule breaking. Terobosan tersebut bukan berarti anarki, karena masih banyak jalan, metode hukum, teori hukum serta paradigma baru yang dapat diajukan untuk melakukan rule breaking tersebut;

Paradigma hukum progresif yang digagas sang begawan hukum Prof. Dr. Satjipto Rahardjo adalah sebuah gagasan yang fenomenal yang ditujukan kepada aparatur penegak hukum terutama kepada sang Hakim agar supaya jangan terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam menegakkan hukum karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata.

Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak. Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup ( Satjipto Rahardjo, 2009: vii).

Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudakan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.

Dimasa pasca-modern, hukum juga semakin terganggu kedaulatannya. Lalau lintas elektronik, munculnya dunia cyber dan virtual reality, mengaburkan kedaulatan hukum tersebut. Seorang penguasa yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di negerinya, bisa diajukan ke pengadilan di luar negerinya. Seorang yang akan ditahan oleh polisi di Kanada menolak, karena sebelum mehanan polisi tidak mengucapkan mantra-mantra “miranda rule” yang terkenal itu. Kita tahu, bahwa miranda rule hanya berlaku di Amerika Serikat, tetapi karena siaran media elektronik yang sudah menembus batas negara, menyebabkan orang Kanada mengira bahwa itu berlaku juga di negerinya.

Belajar dari sejarah, apakah kita masih akan berpendapat, bahwa perubahan dimasa datang tidak akan terjadi lagi, apakah dunia akan berhenti berubah dan berkembang dan berhenti pada satu masa tertentu yang dianggap sebagai masa yang sudah mencapai puncak. Hukum progresif tidak berpendapat demikian, melainkan melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti “panta rei” (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.

Kedua hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti waktu orang berpendapat bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian adalah sejalan dengan positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu kita tidak bisa berbuat banyak kecuali hukumnya diubah lebih dahulu. Ketiga hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan prilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diameyral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik. Kalau boleh diringkas, hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Kekuatan Hukum Progresif

Meski Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang amat buruk, tetapi kita tidak dapat menutup mata bahwa masih ada kekuatan-kekuatan progresif di negeri ini. mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian , advokat, akademisi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Hal lain yang amat menarik adalah pelaku-pelaku hukum progresif, sedikit ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal. Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakariya, Teguh Prasetyo dan Benyamin Mangkudilaga, bukanlah “Hakim-hakim besar”. Sayang, mereka orang-orang marjinal dan kian dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.

Penelitian Bank Dunia “Village Justice in Indonesia” (2004) yang mengoprek manusia-manusia kecil di tingkat lokal menemukan sejumlah idealis dan para vigiliante (pejuang). Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya mereka harus dikucilkan.

Bagaimana bila mereka bersatu atau disatukan, kekuatan mereka akan menjadi lebih besar karena adanya keyakinan bahwa mereka tidak berjuang sendiri sehingga bukan tergolong “manusia aneh” lagi. Menyatukan kekuatan progresif tak perlu menunggu waktu lama karena esok haripun sudah bisa terlaksana. Ia tak perlu menunggu perhimpunan formal. Kekuatan mereka sudah terbangun melalui jaringan informal, melalui pembacaan media yang progresif.

Hakim Progresif

Di tengah suasana semangat tinggi untuk mengikis korupsi, sebaiknya kita lebih berkonsentrasi pada kedudukan dan peran hakim dalam pemberantasan korupsi. Secara tegas ingin dikatakan, hakim bersikap progresif dan partisan.

Pilihan itu pasti akan mengundang reaksi, khususnya para pemikir liberal. Di negeri ini, pemikir dan pelaku hukum pro liberal masih kuat. Kenyataan ini akibat kurikulum fakultas hukum yang didominasi kuatnya kultur liberal. Selama ini kita sudah menyerahkan dan memberikan keadilan kepada masyarakat (delivery of justice), termasuk dalam pemberantasan korupsi. Doktrin, asas yang dipakai berasal dari arsenal kesejahteraan liberal, yang menyakralkan kemerdekaan individu. Kita sudah tahu hasilnya dengan mempertahankan status quo demi memenangkan kultur liberal.

Dalam suasana terimpit oleh praktik-praktik korup yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain. Di sini kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi.

Apakah hakim partisan tidak merupakan anomali di tengah “peradaban hukum”. Sebagai bangsa merdeka, kita berhak menentukan pilihan tentang apa yang baik bagi bangsa . Jika hakim-hakim liberal kurang berhasil memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah salah satu pilihan bangsa Indonesia bangun dari keterpurukan.

Saat ini yang menjadi permasalahan bangsa ini ialah bagaimana mencari hakim progresif dengan sistem perekrutan yang masih memakai cara-cara liberal dan tidak progresif, diperparah dengan pelajaran-pelajaran di fakultas hukum yang tidak memberikan pelajaran hukum progresif tetapi hanya selalu disesaki dengan pelajaran positivistik, hal tersebut menjadi masalah kita semua yang ingin melihat bangsa ini tidak terjatuh ke jurang kemerosotan hukum yang lebih parah lagi dan sudah saatnya memdambakan penegak-penegak hukum yang progresif terutama kepada sang Hakim.

Paradigma hukum progresif di Indonesia, saat ini masih dianggap hal yang tabu karena dari sekian lama, mahasiswa-mahasiswa hukum, para penegak hukum, hanya diberikan bekal pelajaran hukum di sekolah-sekolah hukum yang berbau positivistik belaka sehingga dengan adanya paradigma hukum progresif ini, kita semua para penegak hukum (terutama hakim) dituntut untuk merubah cara berpikirnya “yang lama” yang selama ini selalu penuh dengan aroma paradigma positivistik.

Karena salah satu sumber yang menyebabkan tidak bekerjanya hukum sebagaimana mestinya. Sehingga saat ini sudah saatnya para penegak hukum yang betul-betul ingin melihat hukum beridiri di atas sendi-sendi kebenaran untuk berani memulai dengan paradigma hukum progresif, semoga. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News