BATAM – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kepulauan Riau (Kepri) 2024 tinggal menghitung hari. Dalam perhelatan ini masing-masing paslon menawarkan berbagai janji manis, termasuk mengenai pemerataan ekonomi.
Sebut saja paslon Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri nomor 01, Ansar Ahmad dan Nyanyang Haris Pratamura yang pada saat Debat Terbuka Pilkada kemarin menyampaikan visi ‘Kepulauan Riau Makmur, maju dan merata’.
Begitu juga dengan paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri nomor 02, H Muhammad Rudi dan Aunnur Rafiq bahkan menilai selama ini terdapat disparitas pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota sehingga belum optimalnya daya saing daerah.
Untuk itu mereka mengusung visi ‘terwujudnya Kepulauan Riau yang bermartabat, berdaya saing, maju dan sejahtera’.
Namun, apakah pemerataan ekonomi di Kepri benar-benar dapat tercapai dalam lima tahun mendatang?
Pengamat ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji sekaligus Ketua Apindo Batam, Rafky Rasyid, menyebut ketimpangan ekonomi adalah persoalan klasik yang selalu diwariskan dari satu kepala daerah ke kepala daerah berikutnya. “Hal ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) setiap kepala daerah,” ujarnya, Selasa 5 November 2024.
Bahkan Rafky menyebut siapapun gubernur yang terpilih nanti ketimpangan ekonomi di Kepri akan tetap ada.
Pernyataan bukan tanpa alasan, sebab, ia menyoroti perbedaan perkembangan ekonomi yang signifikan antara Batam dan daerah lain yang selama ini terjadi. Serta bagaimana hal ini bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat di Kepri.
“Terdapat dua ketidakmerataan yaitu, pembangunan dan pendapatan antar kelompok masyarakat,” ujarnya.
Terkait, masalah ketimpangan pembangunan antara Batam dan wilayah lain di Kepri, seperti Tanjungpinang. Menurutnya, karena masalah geografis, pembangunan lebih berpihak ke Batam karena kota ini dirancang menjadi saingan atau limpahan industri Singapura. “Sehingga pembangunan terfokus ke Batam,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa ketimpangan ini bukan hanya masalah pembangunan, tetapi juga ketidakmerataan pendapatan di masyarakat. Ia menjelaskan di Indonesia, 10 persen orang terkaya menguasai hampir 90 hingga 99 persen persen kekayaan ekonomi.
“Ketimpangan pendapatam ini juga terjadi di Kepri,” kata Rafky.
Maka dari itu visi pemerataan pembangunan menurutnya membutuhkan waktu yang panjang. Ia mencontohkan seperti, Kota Tanjungpinang yang telah menjadi ibu kota provinsi sejak 2002, tetap tak bisa menyamai Batam, meski gubernur berkedudukan di sana.
“Artinya ketimpangan itu dimasa depan tetap akan ada,” ujarnya.
Rafky mengingatkan bahwa dengan anggaran APBD Kepri yang terbatas, sekitar Rp4,5 triliun rupiah. Sementara itu, anggaran Batam lebih besar sekitar Rp6 triliun yang berasal dari dua sumber, APBD dan BP Batam, sehingga akan sulit untuk memeratakan pembangunan di seluruh wilayah.
“Jadi kalau ada calon gubernur yang menjanjikan pemerataan perlu dipertanyakan analisisnya dari mana dan berapa lama waktunya bisa begitu, apa yang mau dibuat” tanyanya.
Di sisi lain, pengamat yang juga asesor akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja, Syaiful Syarifuddin mengatakan, Pilkada seharusnya menjadi momentum yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Namun, Syaiful mengkritisi kualitas demokrasi di Indonesia yang menurutnya belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat.
“Demokrasi kita ini sebetulnya masih belum demokratis, karena lebih dirasakan oleh mereka yang berada di partai, sedangkan masyarakat luas belum sepenuhnya merasakan demokrasi tersebut,” ungkap Syaiful yang juga Tenaga Ahli Analisis Pasar Kerja Dan Kebutuhan Pelatihan Kerja Luar Negeri Badan Perencanaan dan
Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan RI ini.
Ia juga menekankan pentingnya kesinambungan dalam kebijakan pemerintahan, dengan harapan agar kebijakan yang sudah ada tidak selalu di obrak-abrik setiap pergantian kepala daerah. Menurutnya, tanpa kesinambungan, pembangunan sulit untuk benar-benar mensejahterakan masyarakat.
“Kebijakan pemerintah itu harus dibiarkan berjalan sustainable (berkelanjutan), kalau setiap pergantian dimulai dari nol, tidak ada keberlanjutan di situ,” ujarnya.
Baca juga: Pengamat: Rudi-Rafiq Kuasai Debat Pilkada Kepri 2024
Syaiful juga menyoroti perbedaan karakteristik antara Batam dan Tanjungpinang. Menurutnya, Batam yang merupakan kawasan manufaktur yang tengah berkembang pesat, sedangkan Tanjungpinang lebih berfokus pada administrasi pemerintahan.
“Kalau mau menyamai Batam dengan Tanjungpinang, menurut saya dalam bahasa Jerman saya sebut ‘unmöglich’, atau sederhananya tidak mungkin,” katanya.
Menurutnya, ekonomi di Batam terus bergerak dan uang berputar, sementara Tanjungpinang tidak memiliki basis industri yang sama sehingga sulit untuk disamakan.
“Batam adalah kota industri, sedangkan Tanjungpinang lebih ke kota administrasi. Jadi, tidak mungkin disamakan. Kedua kota ini harus saling mensubsidi silang,” tutup Syaiful. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News