IndexU-TV

Perami Foundation Minta Jokowi Cabut PP 26/2023

Perami Foundation
Ketua Perami Foundation Tommy Yandra. (Foto: Ist)

TANJUNGPINANG – Peradaban Maritim (Perami) Foundation meminta Presiden RI Joko Widodo mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 (PP 26/2023) berkaitan dengan eksploitasi hasil sedimentasi laut.

Pasalnya, PP itu dinilai akan banyak menimbulkan mudarat bagi lingkungan dan masyarakat.

Ketua Perami Foundation, Tommy Yandra mengatakan, kerusakan alam selama ini cenderung bersifat antropogenik. Kondisi stok ikan yang berkurang, perubahan iklim, bahkan abrasi pulau-pulau kecil itu juga bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi karena ketidakmauan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya dan laju kerusakan ekosistem.

“Praktik eksploitasi pasir laut ini tidak boleh dibiarkan berjalan karena pasti akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan serta biota yang ada di dalamnya,” ujar Tommy dalam keterangan tertulisnya diterima ulasan.co, Selasa (30/05) malam.

Ia menguraikan beberapa dampak penambangan pasir laut. Pertama, perubahan morfologi dasar laut menjadi tidak beraturan akibat pengerukan. Perubahan morfologi dasar laut secara langsung akan mengganggu kehidupan biota laut dan lingkungan, seperti ekosistem dan abrasi.

Proses terjadinya abrasi pantai di wilayah yang pasir lautnya dikeruk, maka beberapa lama setelah pengerukan kubangan yang terbentuk oleh pengerukan tersebut akan dapat memicu migrasi pasir pantai ke daerah kubangan sehingga menyebabkan erosi.

Kedua, menyangkut masalah lingkungan. Berdasarkan catatan Majalah Samudera (2003) menunjukan bahwa banyak pulau-pulau kecil di kawasan Kepulauan Riau yang terancam dan bahkan sudah tenggelam. Hingga tahun 2001 diperkirakan di sekitar kawasan Kota Batam telah 6 pulau tenggalam akibat aktivitas penambangan pasir.

Penyebabnya adalah selama ini penambangan pasir laut dieksploitasi secara besar-besaran. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2001 saja pasir laut yang disedot di wilayah Kodya Batam sekitar 61 juta meter kubik. Apalagi sejak Malaysia melarang ekspor pasir laut ke Singapura, praktis makin membuat pengusaha pasir Indonesia kian bernafsu.

Ketiga, kegiatan penambangan pasir laut membawa problem tersendiri bagi masyarakat, khususnya nelayan di Kepulauan Riau. Pengerukan pasir secara besar-besaran berpengaruh langsung bagi ketersediaan sumberdaya ikan, sehingga aktivitas ekonomi di sektor perikanan semakin terancam.

Penyedotan pasir telah menghancurkan ekosistem pantai, terutama hilangnya pitoplankton dan zooplakton sebagai makanan ikan dan juvenil ikan. Fishing ground nelayan tradisional juga menjadi semakin jauh akibat kekeruhan yang di akibatkan aktifitas pertambanhan.

Keempat, semakin bertambahnya luas wilayah Singapura. Perluasan wilayah ini secara geopolitik akan memunculkan kasus baru dikemudian hari, yakni persoalan batas laut antara Indonesia dengan Singapura. Penambahan luas wilayah darat secara otomatis akan menambah klaim wilayah laut. Disebabkan penambahan wilayah tersebut terarah ke selatan atau wilayah Indonesia maka wilayah laut Indonesia secara otomatis akan berkurang.

Dengan kata lain negara Singapura diduga melakukan ekspansi teritotial secara tidak langsung terhadap wilayah laut Indonesia. Perluasan wilayah Singapura tampak dari luas wilayahnya pada tahun 1991 mencapai 633 km2, menjadi 773,6 km2 pada tahun 2022 atau sekitar bertambah 20%.

Hubungan Diplomatik Indonesia dan Singapura

Hubungan diplomatik Indonesia dan Singapura dalam 2-3 tahun terakhir terlihat mesra Indonesia mendapat satu capaian diplomatik dengan diberinya pengelolaan ruang udara Kepulauan Riau yang selama ini dikelola Singapura ke Indonesia, negosiasi perjanjian ekstradisi, serta dalam pertemuan terakhir maret 2023 bahwa Singapura berkomitmen untuk mendanai Ibu Kota Negara (IKN). Analisis yang perlu diduga bahwa barter apa yang dilakukan antara Indonesia ke Singapura?

Baca juga: Pemprov Kepri Masih Kaji Manfaat PP Sedimentasi Laut

Kita ketahui bahwa Singapura merupakan negara yang permintaan pasir lautnya cukup besar. Oleh karena itu, patut diduga bahwa dibuatnya peraturan pemerintah ini merupakan bagian dari negosiasi antara Indonesia dan Singapura.

Sedimentasi Laut Dijadikan Alibi

Landasan konstitusi pasal 28 H ayat 1, UU Lingkungan Hidup 32 2009 yang mengatur Negara memberi jaminan dalam pemenuhan hak asasi negara termasuk lingkungan pesisir dan laut. Kalaupun memang sedimentasi merupakan fakta yang terjadi maka pemerintahlah yang memiliki tangung jawab untuk membersihkan hasil sedimentasi yang katanya menimbun karang tersebut, akan tetapi terbitnya PP ini merupakan pengalihan tangung jawab pemerintah ke pihak pembisnis pasir laut yang tertuang pada pasal 10 pada PP tersebut dengan memberikan izin.

“Kalau sudah masuk kepentingan bisnis bukan pembersihan lagi itu namanya melainkan eksploitasi pasir laut bertujuan untuk meraup pundi-pundi keuntungan, buktinya di Kepulauan Riau ada Asosiasi Pengusaha Pasir Laut,” ujarnya.

“Oleh karena itu, sangat jelas dan tegas kami meminta presiden untuk mencabut PP 26/ 2023, karena dinilai dapat membawa dampak negatif terhadap keberlansungan hidup masyarakat dan lingkungan,” pungkasnya. (*)

Ikuti Berita Lainnya di Google News

Exit mobile version