Perang Sarung Nodai Ramadan

Perang Sarung
Alsi perang sarung di Jalan Lintas Timur, Bintan, Kepri. (Foto: Dok Warga)

Perang sarung antarkelompok remaja kerap menodai bulan suci Ramadan di berbagai daerah Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Belakangan ini aksi perang sarung terjadi di beberapa daerah di Kepri, seperti di Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Perang sarung yang terjadi melibatkan sekolompok pelajar atau remaja.

Tanpa disadari perang sarung ini membahayakan remaja. Bahkan ada yang meregang nyawa. Kenapa berbahaya, permainan ini lebih tepatnya disebut tawuran remaja di bulan suci Ramadan. Namanya perang sarung, tentu sarung menjadi alat utamanya memukul tubuh lawan dengan bagian ujungnya diikat.

Sebelumnya, viral aksi perang sarung  di Jalan Lintas Timur, Kabupaten Bintan, pada Jumat 15 Maret 2024. Dalam video berdurasi 18 detik beredar di media sosial, tampak para remaja memukul satu dengan lainnya menggunakan sarung.

Tidak hanya di Bintan, aksi perang sarung juga viral dilakukan sejumlah remaja dekat Kantor DJPB Kepri, Pulau Dompak, Tanjungpinang. Di daerah itu ada beberapa titik yang menjadi atens  terjadinya perang sarung.

“Kita akan lakukan langkah persuasif kepada pelajar agar kejadian tersebut tidak lagi terjadi dan mengganggu kekhusyukan masyarakat menjalankan ibadah,” kata Kabid Trantib Satpol PP Kota Tanjungpinang, Irwan Yaqub.

Ia mengatakan, berdasarkan data tahun sebelumnya, tempat yang biasa digunakan remaja untuk melakukan aksi serupa dan balap liar berada di Dompak, Jalan Bandara dan Tanjung Unggat.

“Tiga titik ini yang kita identifikasi berpotensi melakukan kegiatan serupa. Kami tetap berkolaborasi dengan TNI Polri terkait adanya sanksi atau pelanggaran hukum. Tapi jika sanksi administrasi maka akan kami berikan surat pernyataan dan memanggil orang tua,” jelasnya.

Polisi Amankan Belasan Remaja

Kepolisian Resor (Polres) Karimun mengamankan sedikitnya belasan remaja karena terlibat dalam aksi perang sarung termasuk wasitnya.

Kapolres Karimun, AKBP Fadli Agus mengatakan belasan orang tersebut melakukan aksi perang sarung di wilayah Kecamatan Tebing. “Ada sekitar 19 sampai 20 orang yang sedang kita proses di Polsek Tebing,” kata Fadli..

Fadli menyampaikan pihaknya juga mengamankan pelaku yang sudah berusia dewasa dan diduga berperan sebagai provokator hingga terjadi perang sarung.

“Ada salah satu orang dewasa yang terlibat, sampai saat ini masih kita proses sidik,” sambungnya.

Dia melanjutkan, pihaknya tidak melakukan penahanan terhadap para pelaku perang sarung. Namun meski demikian proses hukumnya tetap berlanjut.

“Semoga ini bisa menjadi efek jera bagi yang lain, dan tidak mengulangi perbuatan yang sama,” ujar dia menegaskan.

Akibat dari aksi perang sarung tersebut, satu orang mengalami luka sampai menjalani perawatan medis. Saat ini korban dalam proses penyembuhan.

Oleh sebab itu, Fadli pun mengimbau kepada remaja-remaja di Karimun agar tidak terjadi lagi melakukan aksi perang sarung karena berbahaya.

Selain itu, lanjut Fadli, pelaku yang terlibat perang sarung bisa berurusan dengan hukum dan dipenjara.

Para pelaku tawuran perang sarung bisa dijerat dengan Pasal Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak.

Sebagimana dimaksud dalam pasal 76C Pasal 80 ayat 1 dan 2, dan Pasal 170 KUH Pidana tentang pengeroyokan, dengan ancaman hukum penjara di atas lima tahun.

Di tempat lain, polisi juga mengamankan tujuh pelajar yang hendak melakukan aksi perang sarung di Kijang, Kecematan Bintan Timur. Tujuh pelajar tersebut langsung digelandang ke Polsek Bintan timur untuk dimintai keterangan dan diberikan pembinaan.

Bahaya Intai Remaja

Fenomena perang sarung oleh anak-anak dan remaja di bulan suci Ramadan menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, dampak perang sarung itu dapat membahayakan remaja.

Kabid Pemenuhan Hak Anak (PHA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kepulauan Riau (Kepri), Andi Kurniawan, menyoroti fenomena perang sarung yang saat ini menjadi tren di kalangan anak-anak dan remaja di Kepri.

Menurutnya, fenomena ini sudah mengganggu ketentraman masyarakat dan berpotensi menciptakan perilaku negatif seperti kenakalan remaja dan kecelakaan, maka semua pihak harus memberikan perhatian untuk menyelidiki penyebab tren perang sarung ini.

Ia juga menganggap aksi yang dilakukan anak-anak dan remaja tersebut merupakan masalah yang hampir setiap tahun terjadi.

“Sebenarnya, hal ini bisa saja menjadi sesuatu yang positif dan menarik selama Ramadan, namun dalam beberapa kasus telah menyebabkan ketidaknyamanan terutama bagi pengguna jalan,” ujarnya.

Andi menjelaskan, anak-anak dan remaja yang terlibat dalam perang sarung merupakan generasi Z yang selalu ingin tahu tentang informasi. Menurutnya, generasi ini memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga cenderung untuk mengaktualisasikan diri mereka sendiri.

Ia juga menilai sejumlah aksi pengamanan yang dilakukan pihak kepolisian di sejumlah wilayah di Kepri sebagai upaya memberikan efek jera kepada anak-anak dan remaja yang terlibat perang sarung di jalanan.

“Saya pikir polisi melakukan itu agar ada efek jera karena telah membuat masyarakat merasa tidak nyaman. Hal ini mungkin akan membuat kegiatan mereka lebih positif ke depannya,” ungkapnya.

Andi melanjutkan penjelasannya, bahwa kejadian kenakalan ini biasanya terjadi di luar sekolah, seperti perang sarung dan balapan liar. Biasanya juga terjadi di malam hari, bahkan kadang-kadang menjadi tontonan masyarakat.

Dengan kondisi itu, Andi menyampaikan, pihaknya telah lama berupaya mengatasi kenakalan remaja tersebut melalui program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga).

Lewat program tersebut, DP3AP2KB Kepri berupaya melakukan upaya promosi dan preventif melalui pembinaan, edukasi, dan sosialisasi ke sekolah-sekolah di Tanjungpinang dan Bintan. Sementara untuk daerah lainnya, pihaknya lebih mengedepankan upaya persuasif dengan melibatkan Puspaga yang ada di masing-masing kabupaten/kota.

“Saat ini kita sudah masuk ke beberapa SMA/SMK yang terutama berada di Tanjungpinang dan Bintan,” ujarnya.

Konselor dan mediator Puspaga Gurindam Kepulauan Riau (Kepri), Sudirman Latif, turut menyoroti fenomena perang sarung yang menghebohkan masyarakat di bulan suci Ramadan.

Menurutnya, perang sarung bukanlah hal baru. Aktivitas tersebut dari dulu sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Akan tetapi, saat ini lebih dari sekedar permainan.

“Kalau dulu itu semata-mata keisengan antarteman, tanpa niat menyakiti. Misalnya seru-seruan, sambil slepet teman lalu bilang ‘kena kamu’,” ujarnya.

Sedangkan sekarang, Sudirman malah melihat hal yang berbeda, dalam konotasi pergaulan anak atau remaja sekarang bukan lagi sekedar permainan.

“Sekarang ini bisa jadi sudah mengarah kepada kekerasan, bahkan bisa berujung tindak pidana jika misalnya menimbulkan korban,” ungkapnya.

Bukan tanpa alasan, menurutnya, saat ini perang sarung seringkali didahului dengan membuat janji seakan-akan ingin ‘perang’. Alat-alatnya pun seperti sudah dipersiapkan layaknya rencana tawuran.

“Seperti kejadian yang kalau tidak salah di Sungai Lekop. Mereka datang naik motor di lokasi di mana mereka sering balap liar. Memang mereka sudah sengaja mempersiapkan diri,” ungkapnya

“Artinya apa, kalau sudah dipersiapkan alat-alatnya, berarti bukan candaan lagi, akan tetapi sudah ada niat untuk saling menyakiti. Belum lagi ada kata-kata ‘perang’, kan ngeri,” sambungnya.

Baca juga: Konselor Keluarga: Perang Sarung Sekarang Identik ke Tawuran

Baca juga: Fenomena Perang Sarung Dapat Membahayakan Remaja

Sudirman menilai tren perang sarung yang terjadi saat ini sebagai perilaku sosial yang menyimpang yang dapat mengarah kepada tindak pidana.

Sudirman juga menyayangkan sikap orang tua yang membiarkan anak-anak mereka belum mencukupi usia untuk mengendarai sepeda motor. Hal ini memungkinkan mereka dengan mudah mencapai lokasi-lokasi di mana mereka melakukan kenakalan.

“Dapat dipastikan anak-anak ataupun remaja itu tidak memiliki SIM,” ujarnya.

Sudirman kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya hakikat dari bulan Ramadhan adalah bulan anak, di mana anak-anak seharusnya merasakan kebahagiaan tanpa harus melakukan perilaku menyimpang.

Namun, menurutnya, hal ini tergantung pada cara orang tua memberikan pendidikan dan pendampingan agar anak-anak dapat benar-benar menikmati kebahagiaan di bulan Ramadan.

“Nanti kegiatan remaja masjid ini dapat diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan padat di masjid. Tentu saja dengan pendampingan orang tua,” ungkapnya.

Kedua menurutnya, diperlukan pendekatan yang persuasif terhadap anak dan remaja. Ia menilai saat ini orang tua tidak mau mendengar anak dan seringkali menganggap anak sebagai ‘orang dewasa berbadan kecil’.

“Padahal dunia anak dan dunia orang tua itu berbeda. Bahkan masanya juga sudah berbeda,” pungkasnya.

“Orang tua mestinya tegas, agar hal-hal tidak baik tersebut tidak terjadi” ungkapnya.

Sudirman lalu menawarkan beberapa solusi untuk menangani persoalan perang sarung ini. Menurut Sudirman hal pertama yang harus dilakukan adalah mengaktifkan kembali remaja masjid.

Ramadan Ladang Ibadah

Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ansar Ahmad, merespons fenomena perang sarung saat bulan suci Ramadan di daerahnya. Padahal sarung sejatinya sebagai sarana untuk beribadah.

Perang sarung justru menjadi kegiatan ekstrem yang dikonotasikan negatif di kalangan anak-anak dan remaja. Bahkan fenomenanya ini lebih mengarah ke tawuran yang mirisnya banyak dilakukan oleh anak-anak sekolah.

Ansar mengatakan, fenomena perang sarung kerap terjadi saat malam hari tersebut jauh dari nilai-nilai budaya di Indonesia.

“Bulan suci Ramadan itu bukan identik dengan perang sarung, tetapi identik dengan beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan silaturrahim,” ujar Ansar.

Para remaja yang melakukan aksi perang sarung ini memodifikasi sarung milik mereka masing-masing menjadi senjata yang keras untuk memukul lawan, ada juga sarung yang diikat menyerupai pecut.

Oleh karena itu, Gubernur Ansar meminta seluruh pihak untuk menekan fenomena ini dengan memberikan edukasi, khususnya para orang tua untuk selalu menjaga dan mengawasi aktivitas anaknya saat di luar rumah.

“Momentum Ramadan ini jangan sampai kita salah memaknainya. Mari kita maknai Ramadan ini sebagai ladang amal buat kita semua,” kata Ansar.

Sementara itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Kepulauan Riau (Kepri) membentuk Badan Penanganan Pencegahan dan Kekerasan (BPPK) dalam mengatasi aksi perang sarung pelajar di daerah tersebut.

Pembentukan Tim BPPK tersebut guna untuk mengontrol anak-anak didik melakukan kegiatan yang baru-baru ini viral seperti perang sarung dan balap liar.

Kepala Disdik Kepri, Andi Agung mengatakan, telah mengarahkan ke satuan pendidikan agar mengontrol dan mengarahkan setiap kepala sekolah untuk tidak melakukan kegiatan yang meresahkan masyarakat.

“Ini sebenarnya tugas kita bersama agar tidak ada lagi hal ini setiap tahunnya,” kata dia.

Ia menyampaikan, nantinya akan ada sanksi tegas diberikan kepada siswa jika kedapatan melakukan kegiatan serupa.

“Sanksi tetap ada, tapi kita belum mendapat laporan anak-anak yang melakukan perang sarung dan balap liar dari satker. Sejauh ini baru dapat info yang di tanjungpinang saja,” ujarnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News