IndexU-TV

Polemik Usulan Upah Minimum Tahun 2025 di Batam

UMK
Rapat pembahasan UMK se-Kepri bersama Disnakertrans Kepri. (Foto: Randi Rizky K)

BATAM – Pembahasan penetapan upah minimum di Kepulauan Riau (Kepri) kembali menjadi sorotan, termasuk untuk Kota Batam.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kepri bersama Apindo dan Serikat Buruh menggelar rapat di Gedung Graha Kepri, Batam Centre, untuk membahas usulan Upah Minimum Kota (UMK) 2025, Jumat 13 Desember 2024.

Hasil pembahasan usulan tersebut nantinya akan disampaikan kepada Gubernur dan akan ditetapkan pada 18 Desember 2024 mendatang.

Namun hingga kini rapat pembahasan itu masih menyisakan polemik terkait usulan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) khususnya bagi kaum buruh, pengusaha serta pemerintah.

Buruh Batam Minta UMSK Diterapkan

Perwakilan buruh yang juga Ketua PC Serikat Pekerja Elektronik dan Elektrik (PEE) FSPMI Batam, Masrial mengatakan, sebenarnya pembahasan UMSK antara buruh, pengusaha, dan Dewan Pengupahan Kota Batam tidak ada titik temu.

Menurutnya di dalam Permenaker Nomor 16 tahun 2024  baik UMK maupun UMSK itu dapat diusulkan pihak berkepentingan, termasuk unsur pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).

“Sementara dalam Permenaker itu harus disepakati nilainya. Di dalam aturan tersebut ada kata ‘dapat’, yang artinya, walaupun tak ada titik temu, Disnaker juga harus bisa mengusulkan UMSK serta angkanya,” jelasnya.

Masrial menambahkan, dasar penetapan UMSK sebenarnya sudah ada dan pernah diterapkan dari 2016 hingga 2018. Bahkan SK penetapannya pernah ditetapkan Gubernur Kepri masa itu.

Melalui hal itu pemerintah dapat menerapkan UMSK pada tiga sektor yaitu sektor sedang termasuk aneka industri dan pariwisata, menengah termasuk elektronik dan sejenisnya, kemudian sektor berat seperti oil and gas, shipyard dan yang berisiko tinggi lainnya.

“SK itu bisa dijadikan referensi dan dasar penetapannya. Nah sekarang ada iktikad baik tidak dari Apindo dan pemerintah untuk menyelaraskan itu, kalau tidak ada artinya itu hanya alibi untuk menolak,” katanya.

Selain itu menurutnya penetapan juga dapat mengacu pada mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

Aturan Penetapan UMSK Belum Jelas

Sementara itu Ketua Apindo Kepri, Stanley mengakui masih ada perbedaan pendapat terkait UMK dan UMSK. Ia menyarankan pembahasan UMSK ditunda karena menilai belum ada kajian mendalam dan kejelasan aturan dalam Permenaker.

“Masih kurang jelas dalam aturan itu, karena disebutkan punya kriteria tertentu,” ujarnya.

Menurutnya jika mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), pada Pasal b disebutkan pekerjaan berat atau spesialisasi.

“Aturannya kurang jelas, terutama terkait kriteria tertentu yang disebutkan. Misalnya, definisi pekerjaan berat dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).”

“Apakah tukang yang memikul besi dianggap pekerjaan berat? Kalau begitu, tukang yang mendapat UMSK lebih tinggi, sedangkan lainnya tidak. Ngga mungkin tukang shipyard mikul kapal, mereka mikulnya welder jadi lebih ringan harusnya,” jelasnya.

Stanley mencontohkan sektor shipyard yang hanya mempekerjakan sekitar 20–30 persen tenaga spesialisasi, seperti welder, dari total karyawan. Bahkan, di sektor elektronik, spesialisasi jumlahnya kurang dari 10 persen.

Ia mempertanyakan apakah UMSK berlaku hanya untuk spesialis atau semua karyawan, termasuk yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan berat.

“Keadilannya di mana, apakah karyawan accounting yang tiba-tiba masuk di perusahaan shipyard dapat UMSK juga, ini kan jadi aneh dan lucu,” tambahnya.

Ia berharap justru skala upah pada masing-masing pekerjaan yang harusnya ditekankan pemerintah karena dinilai akan lebih tepat sasaran.

“Ini kami lebih setuju, ketimbang UMSK yang berlaku pada seluruh perusahaan,” katanya.

Ia juga menyoroti momen perekonomian yang sedang terjadi, terutama pada persaingan investasi dengan negara lain seperti Vietnam yang menurunkan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen, sementara Indonesia menaikkannya menjadi 12 persen pada tahun depan.

“Di Vietnam saat ini sedang gencar mempromosikan lapangan investasi, sehingga banyak investor besar yang beralih berinvestasi disana,” ujarnya.

“Sehingga, jika PPN dan pajak yang lainnya naik, ditambah lagi UMSK, bagaimana perusahaan kita bisa survive,” sambungnya.

Ia menekankan penerapan UMSK beresiko terhadap efisiensi pengurangan karyawan yang dilakukan oleh perusahaan untuk menekan pengeluaran akibat kenaikan yang signifikan. Apalagi tiap tahunnya customer perusahaan selalu meminta cost down.

“Terpaksa karyawannya tidak dipakai dan bisa saja digantikan robot atau sistem tertentu karena tak ada pilihan lain, apalagi perusahaan harus survive,” tutupnya.

UMSP Tidak Diterima di Batam

Kepala Disnakertrans Kepri, Manggara Simarmata mengatakan, UMSK akan ditetapkan jika ada kesepakatan dari pengusaha dan buruh.

“Sebenarnya kami tidak membahas UMSK fokusnya UMK. Tapi  memang ada usulan dari Karimun dan Anambas, kalau Batam belum,” ungkapnya.

Baca juga: Cek Besaran Usulan UMK Kabupaten/Kota di Kepri Tahun 2025

Menurutnya pemerintah telah menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) pada sektor pekerjaan berat dan beresiko seperti oil and gas, kimia dan perkapalan

“Tapi di Batam tidak diterima (UMSP) itu karena nilainya masih dibawah UMK Kota Batam tahun 2024, jadi tidak ada pengaruh bagi Kota Batam,” pungkasnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

Exit mobile version