“Tanda-tanda proyek ini bermasalah sudah nampak. Tahun 2019 akan semakin jelas. Mudah-mudahan tidak ada tersangka dalam proyek ini,” ujar Aluan di Tanjungpinang, Jumat.
Ia menambahkan, masalah pertama yang dihadapi adalah terkait anggaran. Keterbatasan anggaran akibat kebijakan politik keuangan pemerintah pusat akan mempengaruhi sumber pendapatan Kepri dari dana bagi hasil (DBH). Tahun 2019, kata dia pemerintah pusat fokus mengarahkan pembangunan infrastruktur ke wilayah timur Indonesia.
Jika terjadi defisit anggaran akibat DBH tidak mencapai target, maka dikhawatirkan mengganggu pembangunan Jalan Lingkar Gurindam 12 di kawasan Tepi Laut-Teluk Keriting Tanjungpinang.
“Kecuali, RUU Provinsi Kepulauan disahkan sebelum masa jabatan DPR berakhir, mungkin akan ada penambahan pendapatan dari sektor kemaritiman,” ujarnya, yang juga anggota Fraksi Keadilan Sejahtera-Persatuan Pembangunan DPRD Kepri.
Masalah kedua, kata Aluan, terkait proses pelelangan proyek yang terindikasi bermasalah. Perusahaan yang memenangkan lelang proyek tersebut diduga masuk daftar hitam.
“Kenapa dimenangkan? Ada apa?” singgungnya.
Aluan yang juga anggota Komisi I DPRD Kepri mengemukakan persoalan defisit anggaran seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah Kepri untuk tidak terburu-buru mengambil keputuaan melaksanakan megaproyek tersebut.
“Sejak awal fraksi kami tidak setuju karena ada permasalahan lain yang prioritas yang harus diselesaikan seperti pengangguran, perekonomian jalan di trmpat dan kemiskinan,” katanya.
Aluan secara pribadi setuju proyek itu dilaksanakan, namun dengan menggunakan anggaran dari pusat, bukan menggunakan anggaran daerah.
“Saya mendapat informasi lembaga “tiga huruf” (KPK-red) mengawasi kegiatan ini,” ujarnya.