TANJUNGPINANG – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raja Ahmad Tabib Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia dengan memberikan edukasi kesehatan kepada pasien.
Dalam peringatan tahun ini pada pada 24 Maret 2024 dengan tema “yes, we can end TBC”. Dari sumber data WHO, Indonesia menduduki peringkat ke 2 kasus TBC terbanyak.
Sebagai bentuk kepedulian, RSUD Raja Ahmad Tabib mendukung program pemerintah dalam upaya mengakhiri Tuberkulosis (TBC). Selain upaya pengobatan, RSUD Raja Ahmad Tabib juga melakukan kegiatan edukasi kesehatan secara rutin kepada pasien, keluarga pasien atau pengunjung rumah sakit, tentang bagaimana mengenali gejala penyakit sejak dini, bagaimana pencegahan dan pengobatan penyakit TBC.
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Senin 25 Maret 2024 di ruang tunggu poliklinik rawat jalan anak. Kegiatan edukasi kesehatan rawat jalan ini merupakan bagian dari program kerja Unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) yang telah tersusun dan terjadwal selama satu tahun untuk setiap bulan dua kali dengan narasumber dan tema yang berbeda yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat khususnya pasien dan pengunjung rumah sakit.
Selain kegiatan edukasi, dilaksanakan juga pemberian paket sembako Ramadan kepada lima orang pasien yang sedang berobat TB Resisten Obat di RSUD Raja Ahmad Tabib. Adapun materi yang disampaikan dalam kegiatan edukasi kali ini mengangkat tema “Pentingnya Skrining TBC pada anak”.
Pada hari itu hadir sebagai narasumber yaitu dr. Fersia Iranita Liza Spesialis Paru dan dr. Muhammad Rizqa Spesialis Anak.
dr. Eci sapaan sehari-hari Fersia menyampaikan, TBC adalah salah satu penyakit menular yang perlu diwaspadai. Menurut data yang tercatat di Kementerian Kesehatan lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022, dan jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada 2023. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus sebelum pandemic yang rata-rata penemuannya dibawah 600.000 per tahun.
“Di tahun 2023 tercatat TBC adalah penyakit yang menduduki peringkat kedua terbanyak didunia dan masuk dalam daftar penyakit paling banyak menyebabkan kematian setelah COVID-19,” kata dr. Eci dalam keterangannya diterima, Jumat 29 Maret 2024.
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis penyebab penyakit Tuberculosis biasanya menyerang organ tubuh paru, namun tidak jarang pula bakteri tersebut menyerang organ tubuh lainnya. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain paru perlu dibedakan dengan TBC biasa.
“Bagi kita yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit TBC sangat penting untuk memastikan bahwa orang tersebut mengonsumsi obat secara teratur dan sesuai dengan rekomendasi dokter. Peran pengawas minum obat TB sangat penting karena pengobatan TB memerlukan konsistensi dan kepatuhan yang tinggi dalam penggunaan obat untuk mencegah resistensi obat dan memastikan kesembuhan pasien,” katanya.
Apabila ada salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit TBC pastikan seluruh anggota keluarga yang kontak dengan penderita, untuk langsung diperiksa ke pusat pelayanan kesehatan guna mendeteksi dini dan menghindari penyebaran penyakit.
“Dan apabila pasien sudah dinyatakan sembuh tanpa gejala, pasien dapat melakukan pemeriksaan kembali agar mendapatkan hasil kesehatan yang menyeluruh,” katanya.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan TBC, yaitu menggunakan masker saat berada ditempat ramai atau pada saat berinteraksi dengan penderita TBC, segera menutup mulut dengan tisu. Tisu yang sudah digunakan dimasukan kedalam plastik, di buang ketempat sampah dan mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir atau menggunakan handsanitizer dan yang tidak kalah penting dengan selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Senada dengan dr. Eci, dalam kesempatan tersebut dr. Muhammad Rizqa Spesialis Anak yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Provinsi Kepulauan Riau juga menyampaikan bahwa upaya nyata yang dapat di lakukan menuju tahun 2030 yang ditargetkan untuk eliminasi TBC di Indonesia adalah dengan memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan pengobatan dan pencegahan TBC yang benar.
“Screening dan pengawasan minum obat pada anak juga diharapkan mampu mendukung upaya tersebut,” ujarnya.
Faktor- faktor yang dapat meningkatkan risiko sakit TBC pada anak antara lain usia balita dan remaja. Penyakit dengan kekebalan tubuh yang menurun juga meningkatkan risiko sakit TBC, Gizi buruk, Dibetes Melitus, penyakit keganasan, konsumsi obat steroid jangka panjang, HIV dan Kontak erat dengan pasien TBC paru yang infeksius. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian TB pada anak, adalah dengan memberikan imunasi BCG pada bayi dan rutin memantau Berat Badan (BB) balita setiap bulannya, penuhi asupan gizi dengan menu gizi seimbang.
Baca juga: Tingkatkan Pelayanan, RSUD Raja Ahmad Tabib Butuh SDM dan Alat Memadai
Pemeriksaan yang sering dilakukan oleh dokter untuk menegakkan diagnosa pada seseorang yang dicuragai TBC adalah dengan uji tuberkulin (mantoux test), IGRA, foto Rontgen dada, dan pemeriksaan dahak. TBC bisa disembukan dengan minum obat teratur & tuntas dengan Lama pengobatan TB ringan selama 6 bulan, TB ekstraparu berat (TB otak, TB tulang) selama 12 bulan.
“Segera bawa anak ke pusat pelayanan Kesehatan seperti puskesmas , rumah sakit, atau praktek dokter swasta. Anak yang kontak erat dengan pasien TBC paru dewasa harus diperiksakan ke dokter untuk memastikan ada tidaknya sakit TBC, jika sakit TBC segera diberikan obat TBC, jika tidak sakit TB, perlu diberi obat pencegahan guna menghindari terinfeksi dan sakit TB berat yang bisa menimbulkan kematian,“ tutup dr. Risqa diakhir edukasi. (*)