Tradisi Buka Puasa Bersama dari New Normal Menuju Endemi

Tradisi Buka Puasa Bersama dari New Normal Menuju Endemi
Belasan remaja buka puasa bersama di salah satu rumah makan di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Nikolas Panama)

TANJUNGPINANG – Awal Maret dua tahun lalu, aktivitas masyarakat Indonesia tiba-tiba terhenti. Masyarakat diimbau untuk tetap berada di rumah dan hampir seluruh tatanan kehidupan berubah total akibat pandemi.

Kondisi itu setelah Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial agar musuh yang bernama Coronavirus atau COVID-19 tidak menyebar luas.

Berbagai kebijakan dan sanksi diberlakukan untuk memaksa masyarakat tetap di rumah. Stay at home sebuah istilah yang belakangan menjadi tren, bahkan iklan di sejumlah produk pun menyebar luas.

Di Kepri, sama seperti daerah lainnya. Pembatasan sosial di seluruh sektor kehidupan kala itu belum mampu membendung virus mematikan itu, menyerah. Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan Indonesia harus mampu hidup berdampingan dengan COVID-19.

Awal Mei 2020, pertama kali Presiden Indonesia mengeluarkan istilah “new normal”. Para ahli pun mengeluarkan pendapat istilah itu sebagai langkah hidup berdampingan atau berdamai dengan COVID-19.

Baca juga: Muslim Wajib Tahu, Ini Ciri-Ciri Makkiyah dan Madaniyah dalam Alquran

Kepala LBM Eijkman Prof Amin Soebandrio berpendapat, “new normal” lebih tepat diaplikasikan sebagai hidup berdampingan dengan COVID-19, dibanding berdamai dengan virus itu. Pendapat itu diperkuat dengan keyakinannya bahwa COVID-19 tidak akan lama berada di muka bumi.

Sementara pemerintah cenderung menggunakan istilah itu sebagai era kebiasaan baru.

Pemerintah mengambil keputusan “new normal” sebagai langkah percepatan penanganan COVID-19 dalam berbagai sektor kehidupan. Skenario hidup berdampingan dengan COVID-19 ternyata tidak meredup “kemarahan” musuh yang tak kasat mata itu.

Kasus aktif COVID-19 seperti gelombang laut, terkadang surut dan terkadang tinggi hingga akhirnya muncul istilah “gas dan rem”.

Istilah baru itu muncul setelah muncul gejolak sosial akibat permasalahan perekonomian melanda Indonesia, termasuk Provinsi Kepulauan Riau.

Dari catatan tahun 2020-2021, kasus aktif COVID-19 kerap membludak menjelang hingga setelah perayaan hari besar keagamaan. Contohnya, Ramadan hingga Idul Fitri.

Baca juga: ACT dan IDAI Bagikan Puluhan Bingkisan untuk Sambut Lebaran

Akibatnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan sosial agar umat Islam shalat tarawih dan salat Idul Fitri di rumah. Momentum setahun sekali untuk bersilahturahmi dengan keluarga, saudara, tetangga dan teman-teman juga hilang di saat lebaran.

Bersamaan dengan itu, sosialisasi dan iklan berlebaran secara daring pun bermunculan.

Di Kepri, kebiasaan kehidupan baru dijalankan warga tanpa konflik. Seruan dan ajakan untuk memutus rantai penularan COVID-19 mendapat sambutan positif, meski cukup banyak menyisakan kisah-kisah dramatis.

Erlan, salah seorang warga Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau, contohnya. Dalam dua kali Lebaran, ia tidak dapat mengunjungi orang tuanya, meski berada dalam satu kota.

Bahkan untuk bersalaman dan memeluk orang tuanya yang sudah lansia juga tidak dapat dilakukan semata-mata menjaga mereka agar tidak tertular COVID-19.

Erlan bersama istri dan dua anaknya pernah tertular COVID-19. Mereka semua bergejala, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk sembuh.