Bintan – Batam dan Bintan sempat bermimpi bahwa program travel bubble yang diluncurkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno pada 24 Januari lalu mampu membangkitkan kembali dunia pariwisata yang terpuruk akibat pandemi COVID-19.
Dua kawasan wisata berskala internasional yakni Nongsa, Batam dan Lagoi, Bintan ditetapkan sebagai lokasi pintu masuk bagi wisatawan dari Singapura yang akan berlibur ke Tanah Air.
Sehari setelah pintu untuk wisatawan asing dibuka, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong di Lagoi, pada 25 Januari 2022. Sejumlah pejabat tinggi kedua negara pun hadir.
Baca juga: Uji Coba Travel Bubble, Ini Syarat Wisatawan Asing Masuk ke Bali dan Kepri
Namun sayang, pertemuan itu tidak membahas soal travel bubble, melainkan Flight Information Region (FIR), pertahanan keamanan, dan perjanjian ekstradisi.
Anggota Komisi II DPRD Kepri, Rudy Chua, yang juga pernah menjadi pengusaha di sektor pariwisata itu berpendapat isu travel bubble tenggelam ketika Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong hanya menyepakati dua hal yakni FIR dan perjanjian ekstradisi.
Padahal pertemuan di Lagoi itu merupakan kesempatan strategis untuk kedua pemimpin negara tersebut membahas travel bubble. Kesepakatan mereka tentu akan ditindaklanjuti oleh bawahannya.
“Sama sekali (pertemuan Presiden RI dengan PM Singapura) tidak menyepakati soal travel bubble, melainkan dalam kesempatan lain PM Singapura lebih tertarik dengan ‘Vaccinated Travel Lane’. Ini berulang kali disampaikan kepada publik,” ujarnya.
Baca juga: Kunjungan Bebas Visa di Kawasan “Travel Bubble”
Travel bubble, sampai sekarang masih satu arah, bukan kebijakan yang disepakati Indonesia-Singapura sehingga belum dilaksanakan setelah program itu diluncurkan pada 24 Januari 2022.
“Wajar kalau sampai saat ini belum terlaksana karena tidak dua arah. Di Singapura juga belum terdengar gaung ‘travel bubble’. Bahkan di Kepri isu ‘travel bubble’ mulai tenggelam,” ucapnya.
Rudy berpendapat travel bubble sulit terealisasi bila kebijakan masa karantina di Singapura masih seminggu, dan tiga kali tes usap dengan metode PCR.
Biaya dua kali tes usap PCR di Singapura sekitar 300 dolar Singapura dan di Indonesia sekitar Rp300.000. Kemudian saat kembali ke Singapura harus karantina selama tujuh hari setelah berlibur dari Bintan maupun Batam. Ini faktor yang menghambat, bukan karena omicron, varian COVID-19.
“Terlalu lama masa karantina, padahal turis asal Singapura itu rata-rata berkunjung ke Bintan atau Batam itu tiga hari. Kemudian mereka harus tes PCR setelah tiba di Batam dan Bintan, padahal sudah tes PCR di Singapura. Kemudian mereka tes PCR lagi setelah tiba di negaranya,” katanya.
Kepala Dispar Kepri Buralima mengatakan, pelaku usaha pariwisata di Lagoi, Kabupaten Bintan dan Nongsa, Kota Batam tetap semangat menyosialisasikan program “travel bubble” kepada agen travel dan asosiasi pariwisata di Singapura karena merasa optimistis program itu mampu membangkitkan sektor pariwisata yang sempat terpuruk selama pandemi.
Keyakinan pelaku usaha pariwisata di Lagoi dan Nongsa tersebut disertai dengan kesiapan kawasan khusus yang akan digunakan sebagai tempat wisata yang aman dan nyaman bagi turis Singapura.