Tanjungpinang – Pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong di kawasan Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), membahas sejumlah kerja sama dan menyepakati tiga perjanjian yang telah disetujui kedua negara, Selasa (25/1).
Pertemuan itu akan membahas kerja sama investasi, pertahanan, perjanjian ekstradisi, dan rencana pengambilalihan ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) di perairan Natuna.
FIR merupakan wilayah ruang udara dalam sebuah negara yang khusus menyediakan layanan informasi penerbangan sekaligus layanan peringatan. FIR diwilayah Kepri adalah sebuah permasalahan yang sangat jelas dan terang yaitu tentang wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang sudah sejak tahun 1946 pengelolaannya berada di otoritas penerbangan sipil Singapura.
Baca juga: Jokowi-PM Singapura Bertemu di Bintan, Bahas Investasi hingga FIR Natuna
Sehubungan dengan masalah kedaulatan Negara di wilayah udara, maka penguasaan Air Traffic Control (ATC) oleh Singapura di wilayah Indonesia yaitu di kawasan Kepri, bukan saja menyebabkan terjadi pelanggaran kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun juga memberikan implikasi yang sangat luas.
Sejarah Kendali Ruang Udara Indonesia Dikuasai Singapura
Berawal pada pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Saat itu, ICAO mempercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepri. Singapura memegang kendali sektor A dan C, sedangkan Malaysia mengendalikan sektor B.
Alasan Singapura ditunjuk untuk mengelola kendali ruang udara Kepri, karena saat itu Singapura merupakan negara jajahan Inggris yang dinilai mampu secara peralatan dan sumber daya manusia. Tak hanya itu saja, otoritas Singapura saat itu memang dekat dengan FIR Kepri.