Utang Indonesia Tambah Buncit Rp6.000 Triliun, Pendapatan Negara Sulit

Ilustrasi mata uang dolar dan rupiah. (Foto:Dok/Istimewa)

JAKARTA – Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), utang pemerintah terus bertambah dan hampir mencapai Rp6.000 triliun atau melonjak 224 persen.

Selain itu, ongkos bunga utang Indonesia tercatat melambung lebih dari 200 persen.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan nominal utang pemerintah pusat per Juni 2024 menembus Rp8.444,87 triliun atau setara dengan 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Nilai tersebut melonjak dibandingkan akhir September 2014 atau sebelum Jokowi menjabat Presiden RI.

Sebagai catatan, Jokowi memimpin Indonesia sejak 20 Oktober 2014. Posisi utang pemerintah pada September 2014 atau sebelum Jokowi memimpin tercatat Rp2.601,72 triliun atau setara dengan 26,5 persen dari PDB.

 

Artinya, utang pemerintah sudah bertambah Rp5.843,15 triliun atau melesat 225 persen selama Presiden Jokowi memimpin Indonesia.

Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan selama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana utang Indonesia bertambah sekitar Rp1.300 triliun.

Lonjakan utang terbesar terjadi pada 2020 yakni bertambah Rp1.383 triliun. Lonjakan terjadi setelah dunia dan Indonesia dihantam pandemi Covid-19.

Aktivitas ekonomi yang lumpuh hingga resesi, membuat pemerintah mau tak mau menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai tulang punggung pertumbuhan.

Tanpa aktivitas ekonomi, pendapatan pajakpun jatuh sehingga utang menjadi solusi untuk membiayai belanja, memitigasi dampak pandemi hingga menggerakan ekonomi.

Namun, utang yang menumpuk di era Jokowi tidak hanya dipicu pandemi tetapi karena belanja pemerintah yang juga agresif. Di antaranya adalah untuk membangun infrastruktur hingga subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Sebagai catatan, pemerintah menghabiskan anggaran sebesar Rp 551 triliun hanya untuk subsidi energi dan kompensasinya pada 2022.

Pendapatan negara sulit

Meski demikian, rasio utang Pemerintah Indonesia masih dalam batas aman sesuai batas undang-undang yakni 60 persen di bawah PDB.

Namun secara nilai, utang pemerintah jelas memicu kekhawatiran. Sebab, ongkos bunga utang sangat tinggi sementara pertumbuhan pendapatan negara tidak bisa mengimbangi penambahan utang.

Menurut data Kemenkeu dan laporan keuangan pemerintah pusat yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pembayaran bunga utang di era Presiden Jokowi sudah naik 289 persen.

Proporsi pembayaran bunga utang terhadap total belanja negara juga melesat dari 6,85 persen pada 2013 kini melonjak ke 14,09 persen. Artinya, hampir sepertujuh anggaran pemerintah dipakai hanya untuk membayar utang.

Sementara pertumbuhan bunga utang pada 2014-2023, atau selama Jokowi memimpin rata-rata mencapai 14,62 persen.

Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan pendapatan pemerintah hanya 7,6 persen dalam pada 2014-2023.
Beban pembayaran utang pemerintah semakin berat jika ditambah dengan cicilannya.

Laporan BPK menyebut pada 2023 pemerintah membayar Rp81,45 triliun untuk menyicil pokok utang luar negeri dan sebesar Rp542,86 triliun untuk cicilan dalam negeri.

Bila pembayaran cicilan pokok utang ditambah dengan bunga utang maka pemerintah mengeluarkan anggaran sebesar Rp1.064,19 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 34,1 persen dari APBN.

Jumlah tersebut melonjak drastis dibandingkan lima tahun lalu atau pada 2019 yang Rp787,91 triliun.