Walhi Sebut Proyek Rempang Eco-City Terburu-buru dan Sembrono

Seorang nelayan di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, sedang menarik jala dari atas perahu. (Foto:Irvan Fanani/Ulasan.co)

BATAM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, bahwa proyek Rempang Eco-City dilakukan pemerintah terlalu buru-buru dan sembrono.

“Atas nama investasi, rakyat akan digusur dengan sembrono,” tegas Boy Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, Ahad (08/10).

Boy juga mengatakan, sosialiasi analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek ini baru pertama dilakukan beberapa waktu lalu kepada warga yang terdampak.

Padahal menurutnya, baik pasca Undang-Undang Cipta Kerja maupun sebelumnya, Amdal merupakan persetujuan lingkungan dalam mengerjakan suatu proyek.

“Ini jadi syarat penerbitan izin berusaha. Seharusnya Amdal ada terlebih dulu, sebelum aktivitasnya ada,” jelas Boy Even Sembiring.

Namun, fakta yang terjadi di lapangan berbeda yakni aktivitasnya lebih dulu ada sebelum Amdalnya ada. Salah satunya, lanjut Boy, proses pematokan lahan 7 September 2023 lalu, yang berujung bentrok antara warga dengan aparat.

“Diukur tanahnya saja enggak mau. Bohong besar kalau Bahlil bilang ada miskomunikasi, karena warga merasa mau digusur,” kata dia.

Kini setelah amdal dibahas bersama masyarakat, nelayan di Rempang dan pulau sekitarnya mereka banyak yang menolak.

Sebab dinilai akan mengganggu mata pencaharian mereka di masa mendatang. “Nelayan tetap nolak,” kata dia.

Baca juga: Walhi Bantah Klaim Bahlil Sebut 70 Persen Warga Pasir Panjang Bersedia Direlokasi

Salah seorang nelayan Pulau Mubut, Dorman mengatakan, sejak isu pengembangan Rempang Eco-City, mereka baru kali pertama dilibatkan pembahasan analisis dampak lingkungan (Amdal), Sabtu (30/09) lalu.

“Selama ini yang diributkan soal darat saja. Sebelumnya kami tidak ada dapat sosialisasi,” kata Dorman saat ditemui Ulasan.

Menurut Dorman, hadirnya proyek ini akan berdampak terhadap wilayah mata pencaharian mereka. Laut akan mengalami kerusakan jika benar nanti akan dibangun pelabuhan.

Ia khawatir, biota laut di kawasan itu punah karena pengerukan yang mungkin nanti terjadi di kawasan itu.

Dorman juga menambahkan, perairan lokasi mereka melaut tersebut dalamnya hanya sekitar lima meter. Jika akan dibangun pelabuhan tentu akan ada pengerukan pasir dan reklamasi.

“Otomatis dampaknya pasti kepada kondisi laut, karang rusak, ikan hilang, udang juga akan hilang,” kata Dorman yang juga merupakan Kelompok Masyarakat Pengawas (Poksmaswas) Sumber Daya Laut Perikanan Wilayah Perairan Pulau Mubut dan sekitarnya.