TANJUNGPINANG – Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Raja Haji, Endri Senopaka, mengaku tidak terkejut dengan wacana Presiden Prabowo Subianto terkait pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD.
Sebab akhir masa akhir periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat mengesahkan tentang hal itu lewat undang-undang. Namun dianulir kembali lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
“Saya sependapat dengan wacana yang disampaikan presiden. Biaya dan energi yang dikeluarkan saat pilkada bukan hanya berasal dari anggaran negara dan daerah saja, melainkan juga dari peserta dan partai politik, bahkan melibatkan pegusaha yang punya kepentingan akan hasil dari pilkada,” kata Endri, Sabtu 14 Desember 2024.
Endri mengatakan, biaya besar yang dikeluarkan peserta pilkada berpotensi menimbulkan tindakan korupsi ketika menjabat. Sebab tidak sebanding dengan apa yang akan diperolehnya secara resmi dari jabatan yang akan dijabat setelah memenangkan kontestasi pilkada tersebut.
“Pada akhirnya potensi untuk melakukan hal-hal yang di luar kewenangan dan berujung pada potensi tindak pidana korupsi akan berpeluang besar terjadi,” ujarnya.
Biaya yang dikeluarkan peserta pilkada bahkan tidak dinikmati masyarakat yang akan memilih, karena bisa jadi lebih besar biaya konsolidasi dengan partai politik mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah.
“Pada akhirnya keputusan untuk menentukan siapa yang akan menjadi calon pemimpin daerah ditentukan oleh elit yang berada di pusat kekuasaan, bukan oleh masyarakat daerah sendiri,” ujarnya.
Menurut Endri kepala daerah dipilih DPRD bukanlah sebuah kesalahan jika dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Wacana presiden ini bisa menjadi bahan introspeksi dan juga evaluasi atas penyelenggaraan pilkada yang berbiaya mahal.
“Demokrasi bukan hanya ditentukan oleh konsep one man one vote saja, melainkan secara konsep kedaulatan di tangan rakyat itu bisa dilakukan melalui konsep perwakilan, sebagaimana yang sudah jelas ada di dalam sila ke-4 Pancasila.”
“Kecuali pemimpin itu menduduki jabatan karena keturunan, ataupun karena penunjukkan dengan mengabaikan suara rakyat, itu bisa kita anggap demokrasi terancam,” katanya.
Baca juga: Ketua LAM Bintan Tidak Sepakat Wacana Presiden Prabowo Kepala Daerah Dipilih DPRD
Baca juga: Ini Respons Warga Tanjungpinang Terkait Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD
Kendati selama ini pilkada dipilih langsung rakyat, hal itu hanya sekadar formalitas karena yang akan dipilih masyarakat sudah ditentukan segelintir elit.
“Hari ini saja meskipun rakyat yang memilih, tapi calon-calon kepala daerah yang berkompetisi juga ditentukan segelintir elit saja, bukan ditentukan oleh aspirasi rakyat, rakyat akhirnya terpaksa memilih yang sudah ada di kertas suara saja,” pungkasnya.
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News