BATAM – Akademisi turut menyoroti polemik rencana pembangunan Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pasalnya, Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan Rempang Eco-City. Namun, prosesnya tidak mulus, karena warga setempat menolak relokasi.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Assoc. Prof. Dr. M Syuzairi, M.Si., mengatakan, ketika akan melakukan suatu pembangunan, harus berangkat dari tiga aspek, yakni melibatkan masyarakat atau partisipatori, pembangunan harus mampu memberdayakan masyarakat, dan harus berkelanjutan.
“Jangan sampai kita melirik investor-investor yang hanya modal dasi. Jangan sampai terkecoh kita. Kalau benar mau berinvestasi, proposal, kelayakannya harus jelas dulu, jangan sampai terhenti [pembangunan]. Apalagi saya dengar konsesi 80 tahun,” kata Syuzairi.
Ia juga mempertanyakan terkait proyek yang menyasar pulau di luar Rempang, seperti rencana pembangunan di Subang Mas. Menurutnya itu sudah di luar daerah rencana pembangunan.
“Daerahnya itu, hanya Batam, Setokok, Rempang, Galang dan Galang Baru. Pulau-pulau itu tolong dilihat di peta, masuk tidak wilayah itu, kalau tidak masuk tidak bisa bicara itu, karena bukan masuk wilayah kerja. Kalau Pemko berhak dia bicara itu,” kata dia.
Menurutnya, pemerintah harus bisa mengerti dulu mana yang merupakan konsep wilayah dan kawasan.
“Kalau wilayah Kota Batam, adalah seluruh Batam dan pulau-pulau sekitar, Belakang Padang itu adalah wilayah. Konsep FTZ Batam itu adalah gempilang, tanah negara yang diberikan kepada badan,” kata Syuzairi.
Ia pun menilai ada beberapa hal yang harus dievaluasi kembali tentang pemberian hak pengelolaan lahan atau HPL seluruh Batam kepada BP Batam.
Menurutnya, HPL dalam subjek hukum undang-undang pokok agraria 560, HPL sebenarnya bisa diberikan ke pemerintah kota, BUMN dan BUMD.
“Tapi kemarin kenapa HPL itu seluruhnya diberikan kepada BP Batam,” kata dia.
Menurutnya, harus ada masyarakat yang melakukan uji materi terkait penetapan HPL tersebut. Sebab, tidak mungkin Rempang dan Galang dan seluruh HPL diberikan ke BP Batam.
“Sementara di sini ada urusan wajib Undang-undang 23 14 [nomor 23 tahun 2014] masalah pertahanan itu ada di Pemda, jadi jangan bertabrakan,” kata dia.
Ia menilai perlu duduk kembali antara Pemko dan BP Batam, membahas masalah Rempang Galang.
Syuzairi juga mengkritisi terkait PT MEG yang diminta mencari investor untuk mengisi kawasan Rempang Galang. Menurutnya, yang seharusnya bertugas mencari investor adalah BP Batam.
“Kalau MEG memang diberikan tugas mencari investor, sekalian saja Rempang menjadi kawasan ekonomi khusus. Artinya yang nanti mengelola Rempang adalah swasta murni. Kalau sekarang saya melihat BP Batam seakan buang badan,” kata dia.
Menurutnya, PT MEG tidak seharusnya menguasai satu pulau untuk kegiatan bisnisnya. PT MEG seharusnya melakukan studi kelayakan berapa kebutuhan mereka untuk penggunaan lahan untuk bisnisnya.
“Jangan 17 ribu [hektare] pulau, itu monopoli. Itu menutup kemungkinan swasta lain bekerja sama di sini,” kata dia.
Rencana Pembangunan di Rempang
Direktur Pengamanan Aset Badan Pengusaha (BP) Batam, Brigjen Pol Mochammad Badrus sebagai perwakilan BP Batam menjelaskan terkait rencana kerja pembangunan PT MEG di Rempang. Gambar peta yang telah mereka siapkan, dijelaskan satu per satu dan disambut sorak warga yang menolak.
Baca juga: BP Batam Sosialisasi Pengembangan Rempang, Warga Suarakan Tolak Relokasi
Dari penjelasannya, di wilayah Sembulang rencananya akan menjadi kawasan industri, Subang Mas akan menjadi kawasan agrowisata, Blongkeng akan menjadi komersial dan perumahan, Pantai Melayu akan menjadi kawasan pariwisata, di Pasir Panjang dan Monggak akan menjadi kawasan hutan dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), Kuala Buluh akan menjadi kawasan konservasi dan Sijantung akan jadi wilayah cagar budaya.
“Akan ada juga lahan seluar 199 hektare untuk kawasan pemukiman di daerah camp vietnam,” kata dia.
Tolak Relokasi
Perwakilan warga yang diberi kesempatan bicara dalam Sosialisasi itu membahas terkait rencana pengembangan Rempang menjadi kawasan Rempang Eco-City, serentak menyuarakan penolakan relokasi kampung tua di Rempang Galang.
Mereka sepakat tak pernah menolak rencana pengembangan kawasan Rempang, mereka setuju akan itu. Sebab, memang sepatutnya daerah mereka dikembangkan.
“Saya ingin menyampaikan ini, karena saya masyarakat Sembulang asli. Kami setuju apa yang Bapak sampaikan, masalah pembangunan itu rencana yang baik buat kami,” kata Rahima Rest Area Simpang Sembulang.
“Untuk menambah ekonomi, kesejahteraan masyarakat kami. Tapi, kami mohon kepada Bapak, karena Bapak punya kekuasaan sedikit, berikanlah kami peluang jangan sampai kampung tua kami jangan diusik. Itu saja, Pak,” katanya lagi.
Suara yang sama datang dari Sani. Ia menolak keras akan rencana relokasi yang telah direncanakan untuk masyarakat Rempang. Ia meminta kuburan dan kampung harus tetap dipertahankan.
“Saya mau bertanya kepada bapak wakil BP Batam ini. Bapak ini pastinya bukan orang Rempang, Seandainya Bapak orang Rempang, tidak akan mau Bapak menggusur kuburan dan kampung kami” kata Sani, disambut sorak sorai warga, serta tepuk tangan usai menyampaikan keluhannya.
Ia juga mengutarakan keluh kesahnya kepada perwakilan Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang dihadiri Sekretaris Daerah, Jefridin Hamid. Menurutnya, Pemko seakan diam dan tak pernah membela mereka terkait rencana relokasi ini.
“Kami ini dulu masuk Kabupaten Bintan, Pak. Kami dirayu bergabung dengan Batam. Bergabung kami dengan Batam dengan maksud lebih sejahtera dan maju anak cucu kami. Tapi apa yang dibikin Pemko Batam sekarang Bapak Sekda Batam? Tidak ada sedikit pun membela kami yang mau digusur ini, Pak,” kata Sani.
Ia pun menilai, harusnya Pemko Batam membela mereka, memperjuangkan kampung yang telah mereka tempati sejak lama.
Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang, Batam, Kepulauan Riau, Gerisman Ahmad juga angkat bicara dalam kegiatan itu, mengatakan akan tetap bertahan dengan pendirian awalnya, bahwa kampung tua harus dilestarikan.
“Tetap komitmen dengan pendirian awal. Harga mati tapak tilas sejarah nenek moyang kami harus diperjuangkan,” kata dia.
Selain penolakan, Gerisman juga menyuarakan soal ganti untung bagi warga Rempang yang nanti terdampak dari pembangunan ini. Ia meminta, jangan sampai masyarakat merugi karena pembangunan ini.
“Kemudian anak tempatan juga harus jadi prioritas bekerja di Rempang. Tertulis di atas hitam dan putih, sesuai dengan keahlian mereka,” kata dia. (*)
Ikuti Berita Lainnya di Google News