Awal Terciptanya Kursi Pelontar, Penyelamat Pilot Pesawat Tempur

Salah satu pilot jet tempur Inggris menyelematkan diri menggunakan kursi pelontar ketika pesawat tempurnya mengalami kendala teknis dengan mendarat darurat. (Foto:Doc/Timeaerospace)

Hai sahabat Ulasan. Mungkin Anda pernah mendengar kursi Pelontar (Ejection Seat). Nah sahabat militer. Menarik sekali sepertinya untuk dibahas.

Kursi pelontar sudah jadi sistem keselamatan yang diwajibkan bagi pilot setiap pesawat tempur era pasca-Perang Dunia (PD) II.

Tentunya teknologi mutakhir setelah PD-II itu tidak muncul begitu saja. Ini merupakan evolusi dari capaian-capaian dalam upaya membuat sistem keselamatan pilot tempur, yang telah dirintis sejak PD-I. Adalah Everard Richard Calthrop, ilmuwan asal Inggris yang telah memulainya lebih dulu.

Ia membuat sistem penyelamat pilot dengan satu aspek terpentingnya adalah parasut, yang mesti terkembang saat pilot sudah keluar dari pesawat. Parasut itu sendiri diciptakan dan dipatenkan Calthrop pada 1913.

“Pada 22 September 1916 Calthrop menciptakan dan mematenkan kursi lontar untuk pesawat. Alat ini menggunakan sistem udara bertekanan untuk melontarkan si pilot. Alat ini juga kelanjutan dari pengembangan parasut yang ia ciptakan sebelumnya, di mana udara bertekanan itu melontarkan pilot dari kokpit ke jarak yang aman dari pesawat, lalu langsung membuka parasutnya,” tulis Bob Taylor, sejarawan militer Bob Taylor dalam Getting Our Wings.

Uji coba sistem pelontar pada kursi.

Tentu sistem ciptaan Calthrop masih memiliki banyak kelemahan, lantaran pilot harus lebih dulu menekan tuas untuk mengaktifkan pelontarnya.

Sistem penyelamat buatannya pun berbeda dengan kursi lontar di era modern, karena sistem yang dibuat Calthrop hanya melontarkan si pilot tanpa kursinya. Maka sebutan lengkap ciptaannya bukan ejection seat, melainkan Compressed Air Parachute Extraction System.

Nah, sistem penyelamat yang melontarkan pilot bersama kursinya baru dikembangkan penemu asal Rumania, Anastase Dragomir.

Cara penggunaannya hampir sama, dengan menarik tuas agar si pilot terlontar bersama kursinya dengan mekanisme udara bertekanan.

Setelah dipasang di pesawat Farman dan diujicoba oleh penerbang Prancis Lucien Bossoutrot di Bandara Paris-Orly, Prancis pada 28 Agustus 1929 dan sukses, Dragomir segera mematenkannya.

Tetapi penemuan itu tak lantas membuat pihak militer Prancis, Inggris, maupun Rumania bersedia segera memasok pesawat-pesawat militernya dengan kursi pelontar.

Hingga Perang Dunia-II, mayoritas angkatan udara negara-negara Eropa dan Amerika masih sekadar membekali parasut buat para pilot mereka, dan tentu mereka harus lebih dulu loncat sendiri dari kokpit untuk menyelamatkan diri.

Jerman Trendsetter Kursi Lontar

Di PD-II, Jerman mengembangkan sistem yang dilahirkan Colthrop. Itu seolah mengulang cerita parasut ‘Guardian Angel’ yang kemudian lebih marak digunakan pasukan lintas udara (linud) Jerman ketimbang Inggris–Jerman, menjadi negeri pertama yang melakukan operasi militer menggunakan lintas udara (Linud).

“Parasut ‘Guardian Angel’ ciptaan Calthrop mulanya sekadar untuk mengirim agen-agen intelijen di belakang garis musuh. Tetapi pada 1918 Jerman lebih mengapresiasi dengan mulai menyontek desain parasutnya, untuk membekali para pilot mereka. Saat Angkatan Udara Inggris baru mulai menggunakan parasut, desain yang digunakan malah parasut buatan Amerika,” sambung Taylor.

Selain Jerman, Swedia lewat manufaktur SAAB juga mengembangkan kursi lontar ciptaan Colthrop dengan sumber daya termutakhir pada 1940.

Tetapi Jerman lewat manufaktur Heinkel sukses merampungkan pengembangan lebih dulu. Pesawat-pesawat Heinkel sudah dilengkapi dengan sistem penyelamat tersebut.

Melansir William Green dalam The Warplanes of the Third Reich, medio 1940 ketika Jerman masih dalam euforia gilang-gemilang di berbagai front, Heinkel banyak menelurkan inovasi alutsista.

Salah satunya He-280, pesawat tempur turbojet pertama yang didesain Robert Lusser. Saat membuat purwarupanya, Lusser turut memasang kursi lontar dengan sistem udara bertekanan.

“Pertamakali kursi lontar di purwarupa He-280 difungsikan saat Helmut Schenk menerbangkannya dalam salah satu rangkaian ujicoba pada 13 Januari 1942. Schenk mengaktifkan kursi pelontarnya setelah mesin jetnya membeku membuat pesawatnya malfungsi,” ungkap Green.

Kursi pelontar produk Martin Baker untuk pesawat tempur.

Meski Schenk kemudian menjadi penerbang pertama yang terselamatkan oleh kursi lontar, proyek He 280 tak diteruskan dengan alasan sumber daya.

Alutsista aktif pertama dengan kursi lontar adalah pesawat tempur malam Heinkel He-219 Uhu yang tercatat pada 1943.

Tetapi Uhu bukan pesawat tempur bermesin jet. Adalah Heinkel He-162 Volksjäger yang merupakan jet tempur pertama di dunia yang dipasangkan kursi lontar pada 1944, lewat proyek Jägernotprogramm atau program darurat pesawat tempur.

Di pesawat ini, kursi lontarnya sudah dikembangkan dengan dipicu lewat mekanisme letupan kartrid.

Pilot pertama yang diselamatkan kursi pelontar di jet tempur itu adalah Letnan Rudolf Schmidt dari Jagdgeschwacher 1 Luftwaffe (Wing Tempur 1 AU Jerman) pada 20 April 1945.

Sementara, Kapten Paul-Heinrich Dahne jadi pilot pertama yang tewas karena kursi lontar, 24 April 1945, lantaran kanopi pesawatnya gagal terbuka.

Pasca-Perang Dunia II, kursi pelontar marak dikembangkan sejumlah negara untuk pesawat-pesawat buatan mereka masing-masing.

James Martin, produsen pesawat asal Irlandia, bereksperimen untuk USAF (AU Amerika) dengan menggunakan mekanisme pegas untuk –menggantikan mekanisme udara bertekanan– kursi lontar buatannya.

Ujicoba pertamanya yang dilakukan pilot Bernard Lynch di jet tempur Gloster Meteor Mk. III sukses dilakoni pada 24 Juli 1946.

Penulis: BaraEditor: Adly Hanani