Hai sahabat Ulasan. Nah kali ini ada sejarah menarik yang akan kita dibahas. Mungkin Anda dan sebagian orang lainnya ada yang belum tahu, awal sejarah berdirinya Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, mempunyai fungsi dan tujuan untuk stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan juga menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kemudian BI juga berfungsi untuk pembayaran, dan stabilitas sistem Keuangan. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasikan agar tujuan tunggal dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen, dalam menjalankan tugas dan memberi wewenang dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Melansir dari situs resmi BI, bahwa undang-undang tersebut memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam menyusun dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut.
Pihak luar tidak diperbolehkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Nah sahabat, yuk kita simak sejarah perlajalanan berdirinya Bank Indonesia.
Abad 16
Pada abad ini, bangsa Eropa datang dan menginjakkan kakinya ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah termasuk Indonesia.
Di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar pula mata uang asing seperti dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang.
Maskapai Dagang, 1602
Pembentukan maskapai dagangVereenigde Oost-Indische Compagnie, yang dikenal dengan nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur).
Saat itu, mata uang Real Spanyol masuk ke daratan Nusantara.
VOC, 1603
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bertujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi Portugis. Namun upaya tersebut gagal.
Bank Courant dan Bank Van Leening, 1746
Bank pertama di Nusantara yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan pada tahun 1746 adalah Bank van Courant.
Bank tersebut mempunyai tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.
Kemudian di tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening.
Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC, agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming ketidakseimbangan bunga.
Bank Courant dan Bank Van Leening, 1818
Bank van Courant en Bank van Leening goyang, lantaran mengalami krisis keuangan hingga akhirnya kedua bank itu ditutup.
De Javasche Bank, 1828
Pendirian De Javasche Bank yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia.
Pada tahun 1828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi, atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi.
Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.
Octrooi tersebut secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.
De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.
Ekspansi Ekonomi Kolonial Belanda, 1830
Untuk mengisi kas negara karena diserang oleh Perang Jawa, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.
Implementasi penyimpangan sistem tanam paksa itu dituangkan dalam novel Max Havelaar, karya Douwes Dekker yang mengundang polemik kalangan masyarakat dan politikus di negeri Belanda.
De Javasche Bank digunakan pemerintah kolonial, untuk mendukung kebijakan finansial dari sistem tanam paksa.
Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa yakni Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866) , Solo (1867), dan Pasuruan (1867).
Liberalisasi Ekonomi Hindia Belanda, 1870
Pada fase ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya pada sektor bisnis di Hindia Belanda.
Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda, sehingga menjadi produsen komoditas-komoditas penting perdagangan internasional di dunia.
Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan sistem tanam paksa, muncullah gerakan yang disebut sebagai politik bola budi atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis pada tahun 1901.
Pada bidang perbankan, pada awal abad ke-20 banyak bermunculan bank-bank perkreditan. Bank perkreditan itu bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat.
Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907) , Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).
Masa Pendudukan Jepang, 1942
Pada masa pemerintahan Militer Jepang, kemudian DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).
Masa Hindia Belanda, 1942
Pada tahun 1828, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk menjadi bank sirkulasi.
Pada periode ini, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.
Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Hingga tahun 1922, telah dilakukan tujuh kali perpanjangan Octrooi.
Pada tahun 1922, Pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet.
NICA Kuasai Indonesia, 1945
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Pada masa ini, NICA membangun kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan untuk mencakup perekonomian Indonesia.
Sesuai amanat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Menghubungkan dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas yang ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).
Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama ‘Oeang Republik Indonesia (ORI)’.
Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme sirkulasi bank di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war).
Pada fase ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan ‘uang merah’ dan ORI dikenal sebagai ‘uang putih’.
Republik Indonesia Serikat (RIS), 1949
Tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan salah satu butir kesepakatan penting adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda.
Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda, dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS. Selain itu, KMB juga mendirikan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Amerika.
Setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.
Berdirinya Bank Indonesia, 1953
Tahun 1951, muncul desakan kuat untuk membangun bank sentral sebagai wujud pelestarian ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB.
Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97 persen.
Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Basah Tahun 1922.
Sejak tanggal 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.
UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral. Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit.
Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter. DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan.
Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh DM.
Masa Ekonomi Terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI menetapkan anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi.
Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin ‘Bank Berdjoang’ berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17 Tahun 1965.
Dalam masa penerapan ‘Bank Berdjoang’, Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah lainnya dibagian menjadi BNI Unit II-V.
Bank Indonesia sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara, 1968
Kemudian tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI menjadi Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.
Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur, bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.
Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lain yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.
Deregulasi perbankan, 1988
BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan nama Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto 27.
Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan, dengan mempermudah perizinan dalam pendirian bank baru.
Krisis Moneter Asia, 1997
Krisis moneter yang terjadi di Asia mendorong BI mengambil langkah-langkah kebijakan penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan nilai tukar mengambang untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, 1999
Dengan adanya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral yang bersifat independen.
UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan.
Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengankerangka penargetan inflasi.
Dalam kerangka ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai target inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah .
Pengesahan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang Independen, 2004
DPR mengesahkan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
UU ini berisi tentang penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan izin, dan pengaturan fungsi pengawasan BI.
Penegasan Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, 2009
DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No.23/1999 Tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.
UU ini memperjelas dan mempertegas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last resort.
Fungsi pengaturan dan pengawasan dialihkan ke OJK
DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK.
Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan lembaga mikroprudensial keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan target stabilitas sistem keuangan.