BINTAN – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, menerapkan aturan perizinan usaha penangkapan ikan yang berdasarkan jarak tempuh.
Penerapan aturan tersebut tertuang di Surat Edaran (SE) Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.701/MEN-KP/VI/2023, tentang Migrasi Perizinan Berusaha Subsektor Penangkapan Ikan dan Perizinan Bekerja Subsektor Pengangkutan Ikan.
Lalu, UU Cipta Kerja, PP Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
“Kegiatan ini lah saya datang dari Belawan, Tanjung Balai Asahan, Kelangsah, Aceh, Tanjung Balai Karimun, Tanjungpinang hingga ke Bintan,” kata Laksamana Muda (Laksda) TNI Adin Nurawaluddin, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, disela meninjau kapal-kapal nelayan di Barek Motor, Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), Sabtu (29/07).
Kalau izin daerah, lanjut Laksda TNI Adin Nurwaluddin, maka lokasi usahanya penangkapan ikan yang dilakukan nelayan dengan jarak di bawah 12 mil atau disebut jalur 1 dan 2.
Baca juga: Regulasi Pemanfaatan Ruang Laut KKP Persulit Investor di Batam
Lalu, bagi pelaku usaha yang ingin melakukan usaha penangkapan ikan dengan jarak tangkapan di atas 12 mil, maka kewenangan perizinannya ada di pemerintah pusat.
“Kita tidak melihat ukuran kapal. Tapi, kita melihat izin penangkapan ikan dari mana yang dimiliki nelayan,” tambah Adin Nurawaluddin.
Dengan diterapkan aturan ini, kata dia, pemerintah memberikan rasa keadilan kepada pelaku usaha penangkapan ikan. Karena aturan dulu, pelaku usaha terlebih dahulu membayar pajak di muka alias di awal saat pra produksi.
Jadi, pemerintah tidak ambil pusing kondisi kapal yang dimiliki pelaku usaha tersebut. Mau kapal tersebut dalam kondisi rusak, hingga tenggelam dilaut.
“Tetapi, pada aturan sekarang pelaku usaha hanya mengurus Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP) untuk seumur hidup. Pemerintah akan menerapkan pajak ke pelaku usaha, setelah memiliki hasil yang didapat dari penangkapan ikan di laut,” jelas dia.
Kapal dibawah 60 Gross Tonnage (GT), dikenakan pajak sebesar 5 persen dari penghasilan. Lalu, kapal diatas 60 GT dikenakan pajak sebesar 10 persen dari penghasilan.
Baca juga: KKP “Tajam” Hambat Investasi di Batam
“Kewajibannya (pelaku usaha membayar pajak) itu, setelah berusaha. Kalau tidak berusaha dikarenakan sakit dan sebagainya, tidak ada kewajiban sepersen pun untuk membayar PNBP,” sebut dia.
Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bintan, Dinaria menyebutkan, para pelaku nelayan maupun pelaku usaha di Bintan belum siap mengikuti aturan yang diterapkan pemerintah.
Alasannya, lanjut Dinaria, karena para nelayan yang memiliki kapal 3 GT sering menempuh jarak diatas 50 mil saat menangkap ikan di laut.
“Kalau bisa, dan kami berharap aturan tersebut ditunda. Karena dinilai tidak adil, dan berpihak kepada nelayan dan pelaku usaha,” sebut Dinaria, saat berbincang langsung dengan Dirjen PSDKP KKP-RI, Laksda TNI Adin Nurawaluddin.
Saat itu juga, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan, Hasriawady menyarankan kepada Dirjen PSDKP KKP -RI, untuk duduk bersama dengan nelayan serta pelaku usaha terkait aturan yang diterapkan pemerintah saat ini, tentang migrasi perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan, dan perizinan bekerja subsektor pengangkutan ikan.
“Supaya aturan tersebut dipahami oleh nelayan, dan pelaku usaha kita di Bintan,” sebut Hasriawady.