Regulasi Pemanfaatan Ruang Laut KKP Persulit Investor di Batam

Rombongan KKP RI saat mendatangi keramba jaring apung PT CTS di Jembatan 6 Bareang, Batam, Jumat (09/06). (Foto:Humad DKP)

BATAM – Salah satu perusahaan yang berinvestasi Rp3,5 triliun di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan, bahwa regulasi pemerintah di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempersulit investor.

Legal dari perusahaan itu, yang berinisial AH mengatakan, pihak perusahaannya kesulitan untuk memenuhi permintaan KKP khususnya untuk melakukan aktivitas di wilayah pesisir.

“Jangankan soal reklamasi, pengurusan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) saja sudah cukup sulit dan lama,” kata AH.

“Perizinan darat itu mudah, namun yang jadi kendala adalah perizinan laut atau pesisir. Seharusnya izin reklamasi lebih sulit dari PKKPRL . Namun nampaknya malah sebaliknya,” tambah AH, Sabtu (15/07).

AH menjelaskan, kendala tersebut sudah dirasakannya sejak 2022 lalu saat mengajukan PKKPRL. Namun, sampai sekarang berkas tersebut tak juga kunjung selesai.

Sedangkan menurut penetapan Direktur Perencanaan Ruang Laut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut nomor 114/DJPRL.2/I/2022 tentang Standar Pelayanan Penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut, jangka waktu yang diperlukan dalam proses pelayanan penerbitan PKKPRL paling lama hanya 14 hari untuk proses penilaian dokumen permohonan.

Kemudian lanjutnya, pemohon harus membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam jangka waktu paling lama 21 hari sejak terbitnya perintah pembayaran.

Lalu dilanjutkan dengan penerbitan PKKPRL dalam jangka waktu paling lama 6 hari, sejak diterimanya bukti pembayaran PNBP tersebut.

“Cuma pada prakteknya berkembang, menjadi hal-hal yang kompleks dan lama untuk medapatkan dokumen itu,” tutur AH.

Bahkan, aktivitas di tempatnya sempat mendapatkan penyegelan dari KKP dengan dalih tidak memiliki PKKPRL dan melakukan reklamasi.

Atas penyegelan itu, pihaknya telah membayar denda hingga Rp300 juta lebih agar dapat kembali beroperasi.

Meskipun pihaknya merasa tidak melakukan reklamasi di lokasi yang dimaksud. Ditambah lagi tidak adanya PKKPRL itu lantaran proses di KKP yang tak kunjung selesai.

Baca juga: KLHK, KKP Bersama DPR RI Segel Aktivitas Reklamasi Kelembak dan Tambak Udang di Batam

“Alasanya karena ada daratan yang pada dasarnya sesuai peta memang sudah ada daratan,” tuturnya.

Setelah membayar denda itu, AH pun meminta agar KKP segera menyelesaikan PKKPRL miliknya agar hal serupa tak terulang kembali. Ia mengaku telah menanyakan kejelasan berkasnya tersebut ke KKP.

Jawabannya, kendala KKP ialah keterbatasan unit serta jumlah permohonan yang menumpuk hingga ratusan berkas.

“Tapi saya rasa itu bukan alasan. Karena sistem sendiri bisa di-update dan saya rasa untuk mengetahui itu mereka hanya perlu membuka sistem mereka,” ucapnya.

AH melanjutkan, regulasi saat ini juga menjadi kendala bagi para investor karena terlalu bertele-tele meski memerlukan berkas yang sama.

Setidaknya, para perusahaan harus melalui beberapa sidang untuk mendapatkan perizinan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), PKKPRL, dan reklamasi nantinya.

AH menilai, pemerintah seharusnya bisa saja mempersingkat regulasi tersebut dengan hanya dalam sekali persidangan sehingga dapat menghemat waktu.

“Seharusnya ini perlu disederhanakan lah. Hal seperti ini sangat tidak bagus untuk para investor. Ya ini mempersulit. Seharusnya bisa dilakukan satu kali, malah lebih,” lanjut AH.

Dengan demikian, apa yang terjadi selama ini di lapangan justru bertolak belakang dengan keinginan Presiden RI Joko Widodo yakni mempemudah investasi.

Ia berharap, proses pengurusan berbagai berkas itu dapat dengan mudah dan cepat. Pihaknya pun tidak keberatan jika harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

“Jadi yang paling penting adalah tuposi yang sama tak perlu dibuat berulang kali. Kalau bisa sekali sidang saja semua dimasukkan,” tambah AH.