Dosen UMRAH Dukung Tagar #JanganJadiDosen

Dosen UMRAH
Dosen FISIP UMRAH, Uly Shopia saat tapping program U-Cast di Studio Ulasan TV (Foto: Dok/Ulasan)

TANJUNGPINANG – Belakangan ini tagar #JanganJadiDosen trending di media sosial X. Tagar ini viral setelah sejumlah dosen mengunggah slip pendapatan mereka dibarengi dengan cuitan keluhan gaji dosen yang tidak layak.

Terkait tagar itu direspons salah satu dosen  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji (FISIP UMRAH), Uly Shopia. Ia bahkan turut mendukung tagar tersebut.

Menurut dosen golongan 3 B Asisten Ahli yang akrab disapa Uly ini, mengungkapkan gerakan tagar #JanganJadiDosen bukan persoalan kecukupan akan gaji yang diterima dosen.

Namun, hal itu berkaitan dengan persoalan beban kerja dosen dengan tingkat pendidikan dengan spesifikasi kapasitasnya tidak seimbang dengan ‘income’ yang diterima.

“Bukan cukup tidak cukup, karena jawabannya akan relatif,  standar masing-masing orang berbeda,” ujarnya.

Uly menjelaskan, untuk menjadi dosen harus memiliki spesifikasi Strata 2 (S2) atau Magister. Sementara beban kerja dosen adalah Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Sedangkan besaran gaji disamaratakan secara nasional.

“Konsep ini diberlakukan sama rata di seluruh Indonesia, baik dosen PNS atau tidak” ungkapnya.

Uly menjelaskan, untuk dosen CPNS saat ini ‘take home pay’ yang diperoleh berkisar  Rp2,8 juta, sementara dosen PNS dengan jabatan fungsional tanpa sertifikasi dosen memperoleh Rp3,04 juta.

Menurut Uly, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam menetapkan gaji dosen tidak mempertimbangkan perbedaan harga kebutuhan hidup di masing-masing daerah yang berbeda.

“Harga semangka saja di Pekanbaru Rp5.000 per kilogram sedangkan di Kepri bisa mencapai Rp10.000 per kilogram. Logikanya saja ‘worth it’ enggak itu,” tuturnya.

Dengan demikian, wajar menurut Uly Kepri kesulitan mencari SDM dosen. Hal ini karena para sarjana S2 akan menghitung beban kerja yang tinggi dengan pemasukan tidak seimbang, maka minatnya akan berkurang.

“Orang akan berpikir ngapain kita pindah kalau tidak bisa hidup, ngapain?,” kata Uly.

Ia lalu menceritakan pengalamannya saat mendaftar sebagai dosen di UMRAH tahun 2014. Pada saat itu dibuka tiga kuota pendaftaran, namun yang mendaftar hanya dua orang.

Ia juga menjelaskan, selama tujuh tahun menjadi dosen kenaikan gajinya tidak signifikan.

“Kalau dosen PNS itu, naiknya di rate Rp50.000 dan tidak sampai Rp200.000. Hal itu juga tergantung dengan jabatan struktural, beda dengan swasta” ujarnya.

Ia juga mengkritisi Kemendikbudristek, terkait gaji yang tidak mengalami kenaikan signifikan, peraturan beban kerja dosen justru naik signifikan. Menurutnya, dalam tujuh tahun terakhir dosen diharuskan mempunyai penelitian, harus masuk ke dalam jurnal, dan harus membuat pengabdian.

“Saya harus tegaskan dalam penelitian, jurnal, dan pengabdian itu tidak tercantum honor peneliti,” ujarnya.

Baca juga: Sirekap Bermasalah, Ini Kata Pakar Informatika UMRAH

Dalam melakukan penelitian dosen hanya boleh menggunakan pagu pelaksanaan penelitian.

Ia menjelaskan, misalnya seorang dosen diberikan anggaran Rp6,2 juta  untuk menyelesaikan penelitian dalam waktu satu tahun dengan tiga anggota dosen didalamnya.

Justru pada akhirnya dosen tersebut harus ‘nombok’ atau menutupi kekurangan biaya operasional penelitian dengan uang pribadinya karena harus mengejar target jurnal harus masuk Sinta (tingkatan dalam publikasi jurnal). Namun, ia menegaskan tidak semua dosen dapat mengakses pagu anggaran ini.

“Apalagi publikasi jurnal sekarang juga harus membayar. Jadi dosen ini berbeda dengan PNS perangkat dinas yang mendapat honor ketika kegiatan, kalau dosen tidak” ungkapnya.

Bahkan menurut Uly, insentif dosen di Indonesia jauh di bawah negara lainnya di ASEAN seperti Malaysia dan Thailand.

Untuk itu Uly mendukung #JanganJadiDosen agar Kemendikbudristek berpikir ulang memikirkan kesejahteraan dosen.

“Apalagi dosen adalah orang yang akan mencetak generasi unggul Indonesia,” ungkapnya.

Sambung dia, hal ini perlu ditinjau ulang karena dosen saat ini tidak punya tunjangan perumahan, transportasi, kemahalan daerah karena berada di daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar).

“Kita bisa perkirakan berapa biaya hidup yang harus dijalani dosen,” ungkapnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News