Implementasi Nilai Sumpah Pemuda dalam Masyarakat

Implementasi Nilai Sumpah Pemuda dalam Mas
Dr. H. Abdul Malik, M.Pd. Ketua Senat FKIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang (Foto: Ulasan.co/Dokumen Pribadi)

Penulis Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.
Ketua Senat FKIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

Aneh sungguh ketika ada manusia memusuhi perbedaan. Pasalnya, perbedaan itu sesungguhnya anugerah Tuhan. Jika tidak, mana mungkin makhluk-Nya diciptakan berlain-lainan, tetapi juga berpasang-pasangan. Dengan demikian, mereka yang nyaman terhadap perbedaan tergolong orang yang beroleh rahmat Tuhan.

Manusia, sebagai makhluk sosial, harus hidup bermasyarakat. Artinya, tak seorang pun yang sehat jasmani dan rohani sanggup hidup sebatang kara, seorang diri, di dunia ini. Oleh sebab itu, manusia memerlukan kelompok hidup bersama yang umumnya disebut masyarakat.

Masyarakat merupakan kelompok manusia terbesar yang memiliki kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, sikap, dan perasaan persatuan yang relatif sama (Gillin dan Gillin, 1948). Jika perbedaan yang semakin kecil diperhitungkan, secara kuantitatif, masyarakat pun menjadi lebih kecil. Akan tetapi, kalau unsur yang sama yang lebih diperhitungkan, masyarakat pun menjadi besar.

Jika faktor seperti yang tertuang di dalam Sumpah Pemuda 1928 digunakan sebagai ukuran, masyarakat menjadi besar, yakni masyarakat Indonesia.

Dalam hal ini, dasar ukuran masyarakatnya adalah bangsa (Indonesia), tanah air (Indonesia), dan bahasa (Indonesia). Faktor lain yang berbeda, walaupun disadari, tak dipersoalkan, tak dipertikaikan, dan lebih-lebih tak dibentur-hantukkan.

Bahkan, di dalam masyarakat yang bertamadun atau berperadaban tinggi, perbedaan itu dijadikan penyeri kebersamaan sehingga kehidupan dapat dinikmati secara selesa dan nyaman. Jadi, besar-kecilnya masyarakat sangat bergantung kepada persepsi manusia tentang kesamaan dan kebedaan.

Orang Melayu, misalnya, menghitung jumlah masyarakat Melayu di dunia ini lebih dari 300 juta jiwa, suatu jumlah yang cukup besar. Hal itu disebabkan oleh cara pandang mereka yang mencirikan Melayu atas tiga indikator utama: berbahasa Melayu (apa pun variasi dialek atau logatnya, digunakan sebagai bahasa nasional atau sekadar bahasa pertama di rumah tangga), beradat-istiadat Melayu (dengan pelbagai ragam tempatan yang menambah semarak kebersamaan), dan beragama Islam.

Akan tetapi, dengan cara pandang yang lebih memerinci perbedaan, jumlah masyarakat Melayu di dunia ini tentulah hanya sekira 15-20 persen saja dari hitungan itu, jauh lebih kecil.

Dalam hitungan kecil ataupun besar, orang Melayu memiliki nilai-nilai terala, yang dianggap baik, luhur, dan mulia untuk hidup di dalam masyarakat. Jika nilai-nilai itu diterapkan di dalam kehidupan, seseorang dianggap sebagai anggota masyarakat yang baik.

Akan tetapi, jika tidak, berlakulah hal yang sebaliknya. Di antara nilai-nilai itu tertuang dalam ungkapan, yang biasa pula disebut ungkapan adat atau petuah orang tua-tua.

Dalam kehidupan bermasyarakat, terutama yang harus dipelihara atau dijaga adalah keutuhan. Nilai keutuhan atau kesebatian itu akan terjaga jika anggota masyarakat tak membeda-bedakan keberadaan yang satu dengan yang lainnya.

Searang dibagi-bagi
Sekuman dibelah-belah
Ditimbang sama berat
Diukur sama panjang

Dengan cara yang lain, Raja Ali Haji rahimahullah dalam Muqaddima Fi Intizam (1857) mengingatkan, “Jangan bedakan antara orang dalam dan orang luar.” Semua anggota masyarakat harus memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tak boleh ada yang mendapat perlakukan yang satu diistimewakan, sedangkan yang lain direndahkan dengan pelbagai alasan.

Keakraban dan kerukunan menjadi nilai yang penting untuk hidup bermasyarakat. Anggota masyarakat seyogianya tak mementingkan diri sendiri, kerabat sendiri, dan atau sahabat sendiri. Semua orang seyogianya dapat dijadikan saudara. Dengan begitu, kehidupan berlangsung secara mesra.

Lapang sama berlega
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kurang isi-mengisi

Keberlangsungan hidup bermasyarakat yang harmonis dapat diwujudkan jika para anggotanya menyadari dan melaksanakan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab itu harus dijalankan secara konsisten dan konsekuen.

Yang tua memberi nasehat
Yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang kuasa memberi daulat

Begitulah pentingnya setiap anggota masyarakat melaksanakan tanggung jawabnya. Karena apa? Demi keberlangsungan hidup yang baik, sesama anggota masyarakat harus mau dan sanggup saling mengingatkan. Untuk itu, mesti ada tokoh yang patut ditauladani dan atau diikuti petuah dan tunjuk ajarnya.

Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan

Kalau kendali sosial seperti itu dapat berjalan, masyarakat akan hidup tenteram dan damai. Oleh sebab itu, perlu dikekalkan kebiasaan “yang salah tegur-menegur, yang rendah angkat-mengangkat, yang tinggi junjung-menjunjung.” Dengan demikian, harkat, martabat, atau marwah masyarakat akan tetap terpelihara.

Nilai kesetiaan dan kejujuranlah yang paling menentukan kesebatian atau keutuhan hidup bermasyarakat. Dalam hal ini, hidup bermasyarakat diibaratkan berjalan beriringan.

Kalau berjalan beriringan
Yang dulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit

Dalam perhubungan sosial, baik secara horizontal maupun vertikal, pengamalan nilai kesetiaan dan kejujuran itu menjadi sangat penting. Sesiapa yang menjadi pemimpin jangan menindas, mempersulit, dan atau menghalangi rakyat untuk maju. Justeru, dengan kekuasaan dan daulat yang ada, pemimpin harus mampu memberi laluan kepada masyarakat untuk maju dalam pelbagai bidang kehidupan.

Bukankah daulat itu sesuatu yang diamanahkan oleh rakyat? Maka, pahamilah hakikat itu supaya terhindar segala mudarat. “Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat,” (Raja Ali Haji, 1847).

Para pembantu pemimpin pula pantang berkhianat, menusuk dari belakang, menggunting dalam lipatan. Begitu pula rakyat tak perlu mengada-ada. Kalau pemimpin melaksanakan kepemimpinannya secara benar, tak ada alasan untuk menolaknya, apatah lagi dengan alasan yang dicari-cari, tak lain tipu-helah belaka. “Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja,” (Raja Ali Haji, 1847).

Keberlangsungan hidup bermasyarakat juga ditentukan oleh mampu-tidaknya manusianya menjauhi sifat tercela. Lebih daripada itu, sesama anggota masyarakat sanggup saling memaafkan jika terjadi kesalahan.

Yang semak buang ke rimba
Yang keruh buang ke laut
Buang yang keruh, ambil yang jernih
Baru kekal mahkota budi

Tak ada manusia yang sunyi dari kesilapan dan kesalahan. Yang mustahak tak melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Sesiapa yang mampu memaafkan orang lain bermakna dirinya memiliki sifat terpuji lagi terbilang.

Kehidupan akan kacau-balau jika yang terjadi, justeru, kebalikannya. Yang tua tak jelas nasehatnya, yang alim tak terdengar amanatnya, yang berani tak tentu-arah kuatnya. Dan, keadaannya menjadi semakin kelam jika yang berkuasa pun tak paham akan daulatnya.

Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2021. Bersama kita pasti mampu untuk maju!. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *