Ini Kata Pakar Soal KPK Minta Maaf Terkait Kekeliruan Penetapan Tersangka Kabasarnas

pakar Ilmu Perundang-undangan, Aan Eko Widiarto yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. (Foto:Dok.Pribadi/detik)

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah meminta maaf atas kekeliruan penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi, yang merupakan perwira tinggi aktif TNI.

Namun, pakar Ilmu Perundang-undangan, Aan Eko Widiarto yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu menilai pimpinan antar pimpinan di KPK tidak kompak.

Sebelumnya, KPK OTT kasus suap pengadaan alat deteksi korban reruntuhan di lingkup Basarnas. Hingga menetapkan sebagai tersangka suap terhadap dua perwira aktif TNI masing-masing Kabasarnas, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Basarnas Letkol Adm Afri Budi.

Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budisaat ditetapkan sebagai tersangka suap oleh KPK, Rabu (26/7) lalu.

Dilansir dari cnnindonesia, berselang dua hari, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI, karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka.

“Antar pimpinan KPK tidak kompak. Pak Alex dan Pak Tanak beda. Ini yang disesalkan,” ujar Aan, Jumat (28/7).

Baca juga: KPK: OTT Korupsi Pejabat Basarnas Terkait Tender Alat Deteksi Korban Reruntuhan Rp10 Miliar

Menanggapi polemik itu, Aan menegaskan, bahwa KPK sudah tepat menggunakan Pasal 42 Undang-Undang (UU) Tipikor dalam perkara ini. UU tersebut dinilai lebih baru ketimbang UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Aan juga menyoroti titik berat kerugian, yang sudah diatur dalam Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dia menilai kerugian di kasus yang melibatkan Kabasarnas sebagai TNI aktif lebih kepada kepentingan umum, sehingga mestinya diproses di pengadilan umum.

“Bila yang dirugikan oleh anggota TNI adalah kepentingan umum maka seharusnya diadili di peradilan umum, dan sebaliknya. Dalam perkara ini Basarnas lembaga non organik TNI, dan perkaranya soal pengadaan barang bukan alutsista tapi deteksi korban,” jelas Aan.

Namun demikian, Aan menyebut dasar hukum yang digunakan Tanak masih sumir lantaran hanya menyebutkan empat lingkungan peradilan dan langsung disimpulkan bila peradilan militer mengadili militer. Menurut Aan, Tanak tidak melihat ketentuan koneksitas sebagaimana diatur KUHAP.

Selanjutnya, Aan juga mendorong KPK untuk berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto jika kasus korupsi yang ditangani melibatkan anggota TNI aktif.

Hal itu merujuk pada Pasal 89 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi:

1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan, dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Agar masyarakat tidak bingung dalam hal ini, perlu ada komunikasi antara KPK dan Panglima. Kalau dalam bahasanya KUHAP itu bahkan Menteri Pertahanan yang seharusnya berkomunikasi, Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman,” katanya.

“Ini karena Undang-Undang masa lalu, kalau sekarang Menteri Kehakiman sudah tidak ada. Kalau sekarang ya seharusnya Menhan, karena atasan dari Panglima dengan KPK sebagai lembaga negara,” tambah dia.

Diserahkan ke TNI

Aan pun menyinggung soal penetapan status tersangka Henri dan Afri usai KPK mengaku khilaf. Menuruti dia, lembaga pimpinan Firli Bahuri itu mesti mencabut status tersangka yang telah disematkan sebelumnya.

“Kalau mengakui khilaf karena tidak berwenang, maka KPK harus mencabut status yang sudah ditetapkan. Kemudian seharusnya POM segera memproses hukum sesuai hukum militer. Kalau KPK mau koneksitas, maka seperti yang saya sarankan tadi adalah bertemu dengan Menhan,” terang Aan.

Bahkan KPK sebelumnya menyatakan khilaf, dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI. Karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Henri dan Afri dalam perkara yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Rombongan petinggi TNI yang dipimpin Danpuspom, TNI Marsda Agung Handoko menyambangi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7).

Kedatangan rombongan yang dipimpin Danpspom TNI rersebut, untuk mengkoordinasikan terkait kasus dugaan tindak pidana di lingkungan Basarnas tersebut.

Baca juga: Tersangka Suap, Kabasarnas: Saya Pati Aktif, KPK Harus Koordinasi dengan Panglima TNI

“Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI,” terang Johanis Tanak usai pertemuan dengan petinggi TNI itu di kantornya, Jakarta Selatan.

“Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” tambah Johanis.

Johanis menjelaskan dalam pelaksanaan OTT pada awal pekan lalu, tim penyidik KPK menemukan dan mengetahui dugaan keterlibatan anggota TNI yang berdinas di lingkungan Basarnas.

“Dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani,” katanya.

Johanis juga mengatakan, bahwa hal itu merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman ada 4 peradilan yakni umum, militer, tata usaha negara (TUN), dan agama.

Dia juga memastikan, bahwa penanganan kasus tersebut tetap dilanjutkan secara koneksitas antara KPK dan POM TNI.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, bahwa polemik penanganan kasus dugaan suap yang menyeret nama Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi menjadi tanggung jawab penuh pimpinan KPK.

“Seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh Pimpinan KPK,” kata Firli dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7) dikutip dari cnnindonesia.

Firli memastikan seluruh kegiatan pihaknya dalam operasi tangkap tangan (OTT) hingga penetapan tersangka suap di Basarnas, sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Dia menjelaskan, pihaknya melakukan kegiatan OTT pejabat Basarnas dan sejumlah pihak swasta pada Selasa (25/7).

Baca juga: Harta Kekayaan dan Isi Garasi Kabasarnas Usai Jadi Tersangka KPK, Ada Pesawat Terbang

Tim penindakan KPK mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.

Dari bukti hasil penyelidikan tersebut, pihaknya pun menaikkan status perkara ke tahap penyidikan dan menetapkan para pihak sebagai tersangka.

“Seluruh rangkaian kegiatan oleh KPK dalam kegiatan operasi tangkap tangan, penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan para pelaku sebagai tersangka telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku,” ujar Firli.

Firli mengaku memahami, bahwa ada pihak berstatus TNI aktif yang terjerat dugaan kasus ini, dan memiliki mekanisme tersendiri di peradilan militer.

Oleh karena itu, ia juga memastikan proses gelar perkara pada kegiatan OTT telah melibatkan pihak Pusat Polisi Militer TNI, sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait.

“Maka kemudian KPK melanjutkan proses penanganan perkara yang melibatkan para pihak dari swasta atau non-TNI/Militer, dan menyerahkan penanganan perkara yang melibatkan Oknum Militer/TNI kepada TNI untuk dilakukan koordinasi penanganan perkaranya lebih lanjut,” ucapnya.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima tersangka terkait kasus dugaan korupsi suap pada pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan Tahun Anggaran 2023 di Basarnas.

Dua di antaranya adalah Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.