IndexU-TV

Ironi Nelayan Kepri di Tengah Potensi Ikan Melimpah

Nelayan di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, sedang melaut untuk mencari ikan.
Nelayan di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, sedang melaut untuk mencari ikan. (Foto: Irvan Fanani)

TANJUNGPINANG – Potensi perikanan laut di Kepulauan Riau (Kepri) tidak diragukan lagi. Bisa disebut ikan melimpah di wilayah itu.

Sebagai provinsi memiliki luas 8.201,72 kilometer persegi didominasi 96 persen lautan tidak lantas membuat nelayan di wilayah itu sejahtera.

Lantas apa yang membuat nelayan di daerah itu belum sejahtera di tengah potensi ikan melimpah. Tentu banyak faktor penyebabnya. Misalnya hasil tangkapan tidak sesuai dengan harga jual, kesulitan nelayan mendapat Bahan Bakar Minyak (BBM) solar subsidi, serta faktor alam saat melaut.

Seperti dialami nelayan tradisional asal Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Suhardi No yang mengatakan, hasil melaut pada bulan Mei dan Juni tidak hanyak.

“Memang bulan lima sama enam ini sulit, ikan tidak banyak. Nanti mulai baik lagi biasanya di bulan sembilan sampai bulan empat,” kata Suhardi.

Disampaikan Suhardi, selain hasil tangkapan yang tidak banyak, harga penjualan ikan saat ini juga terbilang murah. Suhardi menambahkan harga ikan dari nelayan ditentukan oleh pengepul.

“Seperti ikan Tenggiri sekarang ditolak (dijual ke pengepul) Rp 53.000, standarnya itu Rp 59.000. Lalu ikan Parang ditolak Rp 20.000 sekilo, kalau standarnya itu Rp 30.000,” ujarnya.

Menurut Suhardi hasil menjaring ikan tidak menutupi biaya operasional para nyelayan. Ia memerinci untuk sekali berangkat setidaknya menghabiskan biaya sekitar Rp 400.000 lebih dengan pembagian Rp 300.000 untuk BBM dan gaji ABK sebesar Rp 100.000.

“Itu belum rokok, roti dan beras untuk berangkat. Palingan sekarang dapat hasil tiga ratus ribuan. Jadinya tidak menutup operasional,” ucapnya.

Sementara itu, nelayan Desa Pangkil, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan mengeluhkan terkait Bahan Bakar Minyak (BBM) solar subsidi. Pasalnya, selama ini nelayan setempat membeli solar dengan harga mahal.

Wadi nelayan Desa Pangkil mengatakan, sejauh ini dirinya beserta nelayan di Desa Pangkil kesulitan mendapat solar bersubsidi dan harus membeli solar dengan harga yang mahal.

Ia menambahkan, BBM solar subsidi sempat didapatkan nelayan Desa Pangkil melalui Bumdes di sana. Namun, saat ini sudah tidak ada lagi.

“Dulu pernah ada melalui Bumdes, sekarang sudah tak berjalan lagi. Sekarang kita beli solar per botol ada yang Rp17.000 sampai Rp18.000 per botol ukuran 1,5 liter. Biasanya kalau subsidi Rp6.800 per liter,” ucapnya, Kamis 13 Juni 2024.

Ia menyebut, nelayan di sana tidak pernah menanyakan kuota BBM subsidi karena Bumdes di sana sudah tidak berjalan untuk pemberian subsidi solar.

“Kalau harga Rp8.000 per liter masih masuk akal. Ini kan harganya sudah jauh beda,” ungkapnya.

Ia meminta kepada pemerintah agar memperhatikan nelayan tradisional di Bintan, terutama di Desa Pangkil.

“Kita sangat berharap BBM subsidi ini agar kami tidak rugi karena harga ikan sudah berapa, tidak nutup,” ujarnya.

Nelayan Belum Sejahtera

Persoalan lainnya, akhir-akhir ini impor ikan di Kepri menjadi sorotan publik. Sebab, kontras sekali sebagai wilayah penghasil ikan, terkesan hasil tangkapan nelayan tak mampu memenuhi kebutuhan untuk daerah tersebut.

Masuknya impor ikan disinyalir akan memengaruhi kesejahteraan nelayan Kepri.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi, juga menyoroti persoalan kesejahteraan nelayan di Kepri. Menurutnya, nelayan tradisional di Kepri yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin dapat dilihat dari tidak adanya kepercayaan perbankan kepada nelayan.

“Dibandingkan dengan nelayan di Pulau Jawa, mereka kita lihat lebih sejahtera daripada nelayan kita di sini, seperti sudah memiliki kapal besar dan lainnya.”

“Saya melihat tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga daerah untuk menaikkan kualitas nelayan maupun badan usahanya,” ujarnya.

Distrawandi mengakui, HNSI sebagai lembaga non pemerintah hanya bisa membantu para nelayan dengan turut serta terlibat dalam kegiatan pendampingan seperti program perlindungan nelayan dengan BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian mendampingi nelayan terkait pengurusan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan (SKKP) dan pengurusan elektronik buku kapal perikanan (e-BKP).

“Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan ini merupakan pekerjaan rumah yang berat untuk seluruh pihak terkait,” ucapnya.

Distrawandi juga menyoroti permasalahan impor ikan dari negara tetangga yang menembus pasar di wilayah Kepri. Menurutnya, hak tersebut bukan permasalahan yang lazim terjadi mengingat Kepri merupakan wilayah penghasil ikan.

Ia mencontohkan kasus 4 ton ikan beku yang diamankan oleh PSDK Batam pada Jumat 31 Mei 2024 lalu. Ikan beku jenis selar dan tongkol yang diamankan di gudang penyimpanan mikik PT Sumber Laut Alam itu diduga tidak dilengkapi dengan persyaratan (dokumen) impor.

“Kita sangat menyayangkan dari pihak pelaku usaha atau penampung ikan yang menyalahgunakan wewenang dan izinnya untuk mengimpor ikan dari negara tetangga,” kata Distrawandi.

Menurutnya, kebutuhan konsumsi ikan untuk pasar di Batam mampu tercukupi dari ikan hasil tangkapan para nelayan.

“Beberapa daerah seperti Lingga dan Bintan juga mengeluhkan terkait harga jenis ikan pelagis (kelompok ikan yang hidup di permukaan air) yang mencapai harga terendah Rp8.000 per kilogram.”

“Terkait dengan pengolahan dan pemasaran ikan diatur oleh pemerintah pusat dan daerah, hal ini berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” katanya.

Terimpit Ikan Impor dan Tengkulak

Pengamat ekonomi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Rafki Rasyid, turut menyoroti masalah importasi ikan ilegal di Kepri, khususnya Batam. Menurutnya, selain importasi ikan, nelayan di Kepri juga terjebak dalam cengkeraman ‘tengkulak’ ikan.

Rafki yang juga ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Batam, menyatakan keprihatinannya terhadap isu tersebut.

“Kepri yang selama ini diklaim 90 persen lautan, ternyata masih ada pihak-pihak yang menjual ikan dari luar negeri,” ungkapnya.

Menurut Rafki, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, nelayan lokal tidak mampu memenuhi permintaan ikan di Kepri sehingga importir mengambil celah ini.

Kedua, harga ikan lokal di Kepri lebih tinggi dibandingkan ikan impor, sehingga importir lebih memilih mendatangkan ikan dari luar negeri untuk keuntungan lebih besar.

“Pasti dia mencari selisih keuntungan, kalau tidak, tak mungkin dia mengimpor ikan secara ilegal,” katanya.

Rafki menekankan bahwa pemerintah perlu mengkaji masalah ini karena masalah ini menunjukkan tingginya permintaan ikan di Kepri. Menurutnya, Pemerintah seharusnya mendorong produksi ikan nelayan lokal untuk mengatasi hal ini, mengingat Kepri adalah wilayah yang mayoritas perairan.

“Nelayan harus diberikan kemampuan untuk menggunakan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kualitas ikan tangkapan,” tambahnya.

“Karena ada beberapa jenis ikan yang jarang ada dipasaran sehingga diisi oleh ikan-ikan impor dari luar negeri,” sambungnya.

Rafki menyayangkan, seharusnya Kepri menjadi eksportir ikan terbesar ke luar negeri. Namun, menurutnya hal ini juga bisa menjadi sebuah pertanyaan, apakah ikan lokal banyak diekspor sehingga membutuhkan impor, mengingat ada juga impor ikan legal di Kepri?

“Jangan-jangan ikan yang diimpor itu berasal dari Kepri sendiri. Sebab banyak pencuri ikan dari Cina, Thailand, dan Vietnam yang kedapatan beroperasi di wilayah perairan Kepri,” katanya.

Ia juga menyoroti minimnya pengamanan laut di perbatasan yang memungkinkan nelayan asing mencuri ikan.

“Jika benar demikian, nelayan kita terpukul dua kali, ikan dicuri, dan harga ikan anjlok karena impor,” ujarnya.

Selain itu, Rafki menyebut masalah lain yang dihadapi nelayan di Kepri yang seharusnya diberantas pemerintah, yaitu keberadaan broker ikan, alias ‘tengkulak’. Tengkulak seringkali memainkan harga ikan sehingga harga ikan tetap tinggi, namun pendapatan nelayan tetap rendah.

Selain itu, kata dia, tengkulak juga bisa menahan suplai ikan ke pasar untuk menjaga harga tetap tinggi.

“Jika jalur tengkulak bisa dipotong atau dihilangkan, pendapatan nelayan bisa naik dan harga ikan di pasar tidak terlalu mahal,” katanya.

Untuk itu, Rafki menekankan agar pemerintah untuk menunjukkan keberpihakannya kepada nelayan agar terlepas dari jeratan tengkulak dan masalah importasi ikan.

DPRD Kepri Sorot Impor Ikan

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepri, Wahyu Wahyudin, juga menyoroti persoalan impor ikan di daerah itu. Ia bahkan menemui Kepala Pangkalan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Turman Hardianto membahas kasus impor ikan ilegal yang belum lama ini menjadi sorotan publik.

Diketahui sebelumnya PSDKP Batam berhasil mengamankan sebanyak empat ton ikan beku jenis selar dan tongkol yang diimpor dari Malaysia dan diduga tidak dilengkapi dengan persyaratan dokumen impor di PT Sumber Laut Alam, Kecamatan Nongsa, Kota Batam.

“Kedatangan kami kali ini selain silaturahmi, juga membahas terkait adanya aduan ikan impor ilegal dari masyarakat. Kami apresiasi kinerja PSDKP yang luar biasa dalam melakukan kontrol,” ujar Wahyu.

Namun, Wahyu tidak menampik impor ikan tetap dibutuhkan di Batam. Sebab, kebutuhan ikan yang cukup tinggi. Akan tetapi, ikan yang diimpor tersebut bukanlah ikan yang dijual di pasaran. Melainkan jenis-jenis ikan yang tak ada di Kepri yang diperuntukan untuk wisatawan yang memang menyukai ikan tertentu untuk kuliner.

“Tentunya harus ada izin tertentu yang harus dipenuhi perusahaan untuk bisa mengimpor ikan. Akan tetapi, karena mungkin tidak ingin repot ada perusahaan memilih mengimpor ikan secara ilegal,” ujarnya.

Walaupun DPRD Kepri belum pernah menerima sepucuk surat aduan terkait kesulitan memperoleh izin impor ikan, Wahyu tetap menyarankan agar pemerintah segera duduk bersama dengan para importir untuk membahas apa saja kesulitan mereka dalam mengajukan izin.

Baca juga: Bupati Bintan Respons Keluhan Nelayan Desa Pangkil Terkait BBM Solar Subsidi

Baca juga: Pengamat Ekonomi: Nelayan Kepri Terimpit Impor Ikan dan Tengkulak

Terkait mengapa Kepri, khususnya Batam masih membutuhkan impor ikan, Wahyu menjelaskan, bahwa kekayaan ikan di Kepri sejatinya mencukupi. Namun, ada jenis ikan tertentu yang tidak ada di Kepri sehingga perlu diimpor untuk kebutuhan wisata seperti hotel.

Dengan demikian, menurutnya, agar lepas dari jeratan impor ikan, apalagi impor ilegal, DPRD Kepri akan mendorong pemerintah, agar ikan-ikan impor ini dapat dibudidayakan secara lokal di Kepri, sebab hal itu dapat memulihkan ekonomi.

“Kami sudah bahas ini dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang kini memang sedang fokus dalam budidaya ikan. DKP pun menyadari di Kepri sendiri nelayan hanya bisa melaut selama delapan bulan di luar November, Desember dan Januari,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti terkait fenomena tengkulak yang memegang peranan besar dalam penentuan harga ikan lokal di pasar.

Untuk memutus mata rantai tengkulak ini, ia juga mendorong agar pemerintah hadir di tengah masyarakat untuk menentukan harga ikan.

“Tadi kami juga bahas hal ini dengan PSDKP. sudah seharusnya ada regulasi yang mengatur harga ikan. Seharusnya jalur tengkulak ini bisa diputus, sekarang tergantung kemauan pemerintah,” ujarnya.

Disinyalir Masih Ada Impor Ikan Ilegal

Kepala PSDKP Batam, Turman Hardianto mengatakan, hingga saat ini disinyalir masih ada kegiatan impor ikan ilegal di Kepri, khususnya Batam.

Turman menyebutkan, pihaknya telah mengantongi data-data terkait kegiatan impor ikan ilegal. “Data-data tersebut ada, kegiatan yang diindikasikan impor ikan ilegal,” ujarnya.

Turman menjelaskan, PSDKP memiliki target-target spesifik dalam menangani impor ikan ilegal. Saat ini, mereka telah memiliki data intelijen terkait aktivitas tersebut di Kepri.

Menurutnya, para pelaku memiliki cara-cara dan metode yang canggih karena mereka beroperasi dalam jaringan. Namun, PSDKP tidak akan tinggal diam dan akan melakukan upaya maksimal untuk mengatasi masalah ini.

“Berdasarkan data intelijen dan sumber di lapangan, masih ada impor ikan ilegal, terutama kapal-kapal yang mengangkut ikan ilegal ke wilayah Batam,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa estimasi jumlah impor ikan ilegal masih belum bisa disebutkan, namun kecenderungan menunjukkan bahwa permintaan pasar (demand) mempengaruhi tingginya aktivitas tersebut.

“Para pelaku usaha tentu berusaha memenuhi permintaan tersebut,” katanya.

Menurutnya, untuk mengatasi dampak negatif impor ikan ilegal terhadap nelayan lokal, diperlukan peran aktif dari semua stakeholder, termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), PSDKP, dan Pimpinan DPRD. Kolaborasi ini penting untuk memitigasi kegiatan impor ikan ilegal.

Baca juga: PSDKP Batam Amankan 4 Ton Ikan Impor Asal Malaysia

Baca juga: PSDKP Batam: Tangani 2 Kasus Impor Ikan Ilegal

Turman juga menegaskan bahwa PSDKP akan terus mengawasi pelaku usaha perikanan agar mereka selalu mematuhi aturan dan ketentuan yang berlaku.

“Manakala ada yang tidak menaati, melakukan kegiatan ilegal, itu tentu akan kami tindak,” ungkapnya.

Dalam menjalankan pengawasan, PSDKP akan berpegang pada SOP dan mekanisme yang ada, sehingga tidak ada satupun pelaku usaha yang luput dari pengawasan. Ia pun berharap para pelaku usaha perikanan tetap taat aturan dan tidak melakukan perbuatan ilegal.

Impor Rusak Harga Ikan

Keberadaan ikan impor ilegal bisa merusak harga pasar di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Karimun, Faizal mengatakan, pihaknya telah mendapatkan informasi jika ikan ilegal dari Malaysia tersebut masuk ke wilayah Karimun.

Faizal mengaku mendapatkan kabar ikan impor ilegal jenis Selar ditawarkan dengan harga murah, yakni Rp20.000 per kilogram. Sementara di pasaran Karimun, ikan Selar masih di kisaran harga Rp 40.000-Rp 50.0000.

“Ikan tersebut tanpa dilengkapi dokumen resmi. Jadi ketika masuk maka harganya murah dan akan menggangu pasar Karimun. Nelayan akan dirugikan dengan harga ikan yang murah ini,” kata Faizal.

Disebutkan dia, saat ini banyak nelayan Karimun yang baru kembali dari perairan Natuna, dan membawa pulang hasil tangkapan. Para nelayan dan pengelola gudang ikan juga mengkhawatirkan keberadaan ikan ilegal tersebut.

“Di gudang-gudang ikan kita di sini aman, tidak masuk ke gudang. Untuk yang menentukan harga ikan di sini dari gudang. Kita koordinasi selalu dengan pihak gudang untuk stabilitas harga,” ujarnya.

Disampaikan Faizal, dari Batam, ikan impor ilegal tersebut kemudian disebarkan ke pulau-pulau lain, termasuk ke Karimun. Namun sayangnya petugas belum dapat melacak keberadaan ikan ataupun kapal yang mengangkutnya.

“Kita membentuk tim dengan PSDKP dan Karantina. Pengawasan kita lakukan di kapal-kapal yang masuk. Kita dapat kabar ikan impor masuk dari Tanjungpinang sore hari. Tapi sewaktu kita turun kita tidak menemukannya. Ada kita dengar kalau kapal dibawa pakai kapal kargo,” ujarnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

 

Exit mobile version