Kegusaran Belanda terhadap Bajak Laut di Kepulauan Riau

Kegusaran Belanda terhadap Bajak Laut di Kepulauan Riau
Syahrul Rahmat, Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri (Foto: Dok Pribadi untuk ulasan.co)

Membasmi Bajak Laut
Bukan tanpa masalah, dalam urusan pelayaran dan perdagangan, Belanda cukup disulitkan dengan sejumlah persoalan. Salah satu di antaranya berkaitan dengan bajak laut lokal. Kegusaran mereka begitu kentara, sehingga regulasi-regulasi yang bertujuan untuk memberantas bajak laut dirasa perlu untuk diterbitkan.

Anehnya, pemberantasan bajak laut itu tidak dilakukan sendiri oleh Belanda. Pekerjaan itu selalu dibebankan pada penguasa Melayu. Sejumlah kontrak yang melibatkan Pemerintah Belanda dengan pihak Kerajaan Riau Lingga pun tidak luput menyinggung persoalan bajak laut.

Sejak akhir abad ke-18 hingga ke-19, tidak kurang dari empat kontrak yang telah disepakati. Pada dasarnya itu bukanlah kontrak baru, lebih kepada pembaharuan kontrak saja. Hal itu kerap dilakukan ketika terjadi pergantian pemangku kepentingan di masing-masing pihak. Menariknya, narasi tentang pemberantasan bajak laut selalu ada pada setiap kontrak. Seolah-seolah, keberadaan mereka tidak pernah padam sejak kontrak pertama kali ditandatangani.

Diawali kontrak pada tahun 1784, Belanda mulai membuat kesepakatan berkaitan dengan sistem keamanan dan wewenang masing-masing pihak. Pada tahun 1818, bersama Sultan Abdurrahman Muazamsyah I, Belanda memperbaharui kontrak. Di dalamnya terdapat dua pasal yang berbicara tentang pemberantasan bajak laut. Isinya cukup jelas, pihak kerajaan Riau Lingga diminta untuk tidak menaungi bajak laut yang mereka sebut perompak.

“Sekali-kali jangan biarkan ke mana dia pergi, usir juga, apalagi menaungi dia sekali-kali,” demikian isi pasal 10 dari kontrak yang diterjemahkan A. Shamad Ahmad dalam buku Kerajaan Riau Johor.

Setelahnya, di Penyengat, sebuah pulau kecil yang berada tepat di depan daratan Tanjungpinang, kesepakatan baru ditandatangai. Bertepatan dengan 29 Oktober 1830, Letnal Kolonel Residen C.P.J Elout dan Yang Dipertuan Muda Riau menjadi perwakilan dua kekuasaan untuk memperbaharui kontrak. Seperti sebelumnya, narasi tentang pemberantasan perompak tetap saja ada.

“Sultan dengan segenap kekuatannya akan membasmi pekerjaan rompak-merompak dan pihak kerajaan tidak akan sekali-kali memberikan perlindungan” tulis Netscher dalam Belanda di Johor dan Siak 1602-1856.

Pasca pembaharuan kontrak ini, terjadi beberapa kali kontak fisik antara Belanda bersama pihak Kerajaan Riau Lingga dengan bajak laut. Pada 1833, misalnya, 50 perahu Kerajaan Riau Lingga dengan 3 kapal perang Belanda berhasil menyudutkan bajak laut di Pantai Inderagiri.

Lebih kurang 27 tahun setelah kontrak sebelumnya, pada 1857 kontrak kembali diperbaharui. Pada masa ini, pihak Kerajaan Riau Lingga diwakili oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II bersama Raja Haji Abdullah dan Belanda oleh Residen Riau Frederick Nicholas Johannes. Pada kontrak ini kembali pihak Riau Lingga diminta berjanji untuk menegahkan perompakan, jika ada yang tertangkap maka mereka harus diserahkan kepada residen Belanda.