Kegusaran Belanda terhadap Bajak Laut di Kepulauan Riau

Kegusaran Belanda terhadap Bajak Laut di Kepulauan Riau
Syahrul Rahmat, Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri (Foto: Dok Pribadi untuk ulasan.co)

Menjaga Stabilitas Jalur Perdagangan
Barangkali akan muncul pertanyaan mengapa Belanda begitu bersikukuh untuk memberantas bajak laut? Sederhana saja, sebagaimana ditulis pada bagian awal artikel ini, perairan Riau adalah kawasan penting dalam perdagangan Internasional di masa itu. Aktivitas perdagangan tidak hanya melibatkan para pedagang lokal, melainkan juga pedagang-pedagang yang datang dari Eropa.

Faktor Ekonomi tentunya menjadi salah satu motif kuat mengapa Belanda merasa penting untuk memberantas bajak laut. Dalam tesisnya pada tahun 1999, Ridwan Melay menyebutkan bahwa pasca perjanjian tahun 1784, Tanjungpinang mulai dikuasai Belanda dan dijadikan sebagai pusat perdagangan. Tidak heran, posisi geografis daerah ini dinilai strategis untuk mengendalikan perdagangan melalui jalur laut.

Riwayat perdagangan yang melibatkan wilayah-wilayah di Nusantara dengan Eropa ditulis dengan cukup lengkap oleh J.C Van Leur dalam Perdagangan dan Masyarakat Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan pada 2018 itu Van Leur menulis, pada abad ke-16 tidak kurang dari 4.670 ton merica yang diperdagangkan di Eropa. Sebagaimana diketahui, merica merupakan salah satu produk rempah yang menjadi incaran para pedagang Eropa di masa itu.
Aktivitas pelayaran para pedagang nusantara juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Pada 1615 setidaknya terdapat 50 jung yang berlayar dari Jepara ke Malaka, di samping menuju Jambi, Johor dan Pahang. Pada 1617 jumlah kapal yang berlayar meningkat jadi 120 jung dengan membawa beras. Sehingga setiap tahunnya tidak kurang dari 200 kapal berlayar dari Jawa dengan beban rata-rata 100 ton,” tulis Van Leur dari mengutip catatan Balthazar van Eyndhoven.

Pentingnya kawasan ini sebagai nadi perdagangan membuat Belanda berupaya untuk menjaganya tetap stabil. Kemunculan bajak laut adalah masalah yang harus dituntaskan. Sayangnya, hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan, mengingat mereka adalah orang-orang yang memahami geografis wilayah dengan baik.

Bajak laut di kawasan Kepulauan Melayu ini juga disebut memiliki kemudahan untuk mengakses sejata dan informasi. Kecurigaan Belanda merujuk pada aktivitas di Teluk Belanga dan Pelabuhan Baru, Singapura. Menurut Carol Trocki, di kawasan itu bajak laut dapat dengan mudah mendapat senjata berikut bubuk mesiu. Tidak hanya itu, mereka juga dengan mudah mendapatkan informasi.

Jalan panjang upaya penaklukan bajak laut oleh Belanda menjadi dinamika tersendiri dalam sejarah maritim di Kepulauan Riau. Bajak laut ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, selalu mucul dan susah dibasmi. Upaya untuk melibatkan penguasa lokal pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Sekalipun pernah dilakukan pengejaran dan penaklukan bersama, faktanya bajak laut masih saja ada. (*)

Penulis: Syahrul Rahmat
Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri