IndexU-TV

Mengintip Sejarah Kampung Tua Tanjung Uma Ditengah Pembagunan Kota Batam

BATAM –  Kampung tua Tanjung uma. Lokasinya berada di pesisir utara Kota Batam. Tepatnya di seberang Kawasan Jodoh dan Industri Batu Ampar.

 

Dari sana, Tanjung Uma dengan jelas terlihat dikelilingi oleh rumah penduduk yang padat di antara banyaknya gedung bertingkat.

 

Meski ditengah gemuruh pembangunan, industri, investasi dan urbanisasi, Kampung  dengan luas wilayah 3724 Km2 itu masih kokoh berdiri sebagai saksi bisu perjalanan kemajuan Kota Batam.

 

Walaupun sentuhan modernitas semakin terasa,  Bahasa Melayu, yang telah lama menjadi bahasa dominan di kawasan ini, masih terdengar merdu di antara penduduk setempat.

 

Dialog seperti ‘nak kemane?’ dan ‘tak ade’ menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang kental dengan nuansa masyarakat melayu.

 

Kini Tanjung Uma menjadi salah satu kelurahan di bawah administrasi Kecamatan Lubuk Baja dengan populasi 21.800 jiwa. Sehingga tidak dipungkiri kemajemukan pun telah mewarnai tempat ini. tak hanya warga lokal, para perantau pun telah ada yang hidup menetap di tempat itu.

 

Sepenggal Kisah Cikal Bakal Penamaan Tanjung Uma

 

Sambil menunggu hujan reda di rumah pelantar, Alda, seorang gadis berparas manis, berbagi cerita. Sejak lahir, dia telah menetap di kampung tua itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Tanjung Uma telah bertransformasi menjadi kampung modern yang terus mengikuti arus zaman.

 

Alumni sosiologi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang itu, kemudian menyarankan untuk menemui ‘atok’-nya, seorang tokoh masyarakat yang telah lama tinggal di sana.

 

“Kalau untuk sejarah jumpa atok Alda aja,” ucapnya.

 

Alda pun mengajak ke salah satu rumah tak jauh dari tempat tinggalnya. Sesampai di sana, tampak seorang lelaki berusia senja yang dengan ramah mempersilahkan masuk ke rumah.

 

Namanya Datu’ Hj Machmur Ismail, seorang Dewan Kehormatan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri. Sembari menyuguhkan teh manis ia mulai bercerita.

 

“Kampung Tanjung Uma ini terbentuk secara alamiah jauh sebelum Indonesia merdeka. Dulu nenek moyang kami adalah masyarakat nelayan keturunan Melayu dan Bugis yang hidup bersamaan” tutur tokoh yang lahir pada 1947 ini mulai mengisahkan.

 

Ia mengingat, pada masa lampau rumah penduduk bukanlah menggunakan tembok semen seperti sekarang. Dulunya bentuk rumah penduduk adalah rumah panggung khas melayu pesisir.

 

Tanjung Uma pada masa ‘tempoe doeloe’ menurutnya sangatlah kental dengan budaya dan adat istiadat Melayu. Bahkan tradisi pernikahan pun bisa berlangsung dua hari.

 

“Dulu tradisi tepuk tepung tawar itu sangat dijalankan,” katanya.

 

Selain itu, pada era 1950-an wilayah ini juga didiami petani kelapa dan karet. Waktu itu penjualan Kopra (kelapa yang diasapi hingga kering untuk kebutuhan industri minyak kelapa) untuk diekspor ke Singapura cukup tinggi.

 

Tak hanya itu, penyebrangan menuju Singapura menggunakan sampan untuk menjual ikan merupakan hal yang biasa bagi masyarakat, apalagi banyak juga penduduk yang memiliki sanak saudara disana.

 

Bahkan dimasa itu masyarakat telah menggunakan dolar sebagai alat transaksi, karena tidak ada batasan antara masyarakat Tanjung Uma dengan Singapura.

 

“Saya masih ingat saat saya sekolah di Sekolah Rakyat (SR) tahun 1955 atau 1996, beli kue saja harganya lima sen dollar Singapura” ucap Machmur Ismail.

 

Kemudian, masyarakat keturunan Tionghoa pun juga telah bermukim di Tanjung uma, kebanyakan dari mereka menjadi pemilik dapur arang bakau yang juga dikirim ke Singapura.

 

“Bahkan kapal tongkang (kapal kayu besar) dari Singapura datang kesini menjemput kopra, arang, ikan yang dihasilkan disini. Barang tersebut dulu harganya dihitung menggunakan ‘dati’ atau caping’ yaitu sebuah cara penghitungan berat sebuah barang yang lebih kecil dari kilogram, 1 kati sama dengan 6 ons,” jelasnya.

 

Machmur Ismail pun menceritakan kisah unik dibalik cikal bakal penamaan Tanjung Uma. Karena telah terbiasa secara turun temurun berinteraksi dengan orang Singapura, bahasa melayu yang digunakan pun kadang bercampur aduk dengan bahasa Inggris Singapura.

 

Sehingga pada saat ditanyakan akan kemana, orang Tanjung Uma pun menjawab ‘go home’ atau ‘home’ saat akan pulang ke tempat tinggalnya.

 

“Home dalam bahasa melayu kan artinya rumah. Karena sering dilafalkan, jadi lama-lama ia menjadi home, homa, sehingga menjadi Huma atau uma,” jelasnya.

 

“Akhirnya terbiasa menyebut home dengan uma. Karena posisi wilayahnya yang berada di dua buah tanjung, maka disebutlah Tanjung Uma,” ia menyambungkan.

 

Kemudian dengan berjalannya waktu, Tanjung Uma menjadi tempat persinggahan ‘orang sampan’ atau yang dikenal sebagai suku laut untuk menjual ikan. Uniknya transaksi penduduk dengan mereka juga menggunakan dollar.

 

Kisah orang sampan ini juga berkorelasi dengan penamaan kampung Jodoh yang kini menjadi daerah perdagangan.

 

“Dulunya Jodoh itu kan pantai berpasir putih, jadi waktu itu Jodoh dijadikan destinasi sementara orang sampan saat angin selatan berhembus. Jika sedang berlabuh banyak itu sampan-sampan mereka bersandar,” tutur Machmur Ismail.

 

“Mereka juga sering minum-minum tuak saat di sana,” tambahnya.

 

Menurutnya ada sebuah versi kisah penamaan ‘Jodoh’. Dikarenakan kepercayaan animisme, masyarakat sampan memiliki tradisi perkawinan yang berbeda dengan masyarakat Melayu Tempatan. Salah satunya adalah tradisi perkawinan yang sangat unik.

 

Saat hendak mengawinkan anak yang sudah dewasa, dua keluarga Sampan membuat kesepakatan untuk pesta hajatan. Anak perempuan akan dilepas di dekat Pantai Jodoh, sementara anak laki-laki diminta mengejar untuk menangkapnya.

 

“Jika si laki-laki berhasil menangkap si perempuan, maka mereka dianggap sah sebagai suami istri,” ungkapnya.

 

Tanjung Uma Sempat Mengalami Kemunduran Ekonomi di Masa Konfrontasi

 

Tanjung Uma pun sempat mengalami kemunduran secara ekonomi karena konfrontasi pada sekitaran tahun 1963-1965. Pada masa itu pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menjaga perbatasan antara Batam dan Singapura dengan menurunkan Korp Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut (kini bernama Korps Marinir TNI AL).

 

Disaat itu juga segala interaksi masyarakat Tanjung Uma dan Singapura dilarang dan dibatasi.

 

“Disaat itu aktivitas masyarakat termasuk nelayan menjadi terbatas. Karena ikan bahkan kopra dan arang tidak bisa lagi dijual atau diekspor ke Singapura,” terang Machmur Ismail.

 

Ekonomi pun turun drastis karena segala sesuatunya menjadi terbatas, bahkan beras yang biasanya disuplai dari Singapura tidak pernah masuk lagi ke Tanjung Uma. Karena juga tidak mendapat suplai beras dari daerah pusat, masyarakat pun beralih memakan sagu, ubi yang didapat dari Karimun.

 

“Miris sekali zaman itu, baju pun tak terganti. Sudah sobek pun masih dipakai, kami tidak bisa berbuat apa-apa” ujarnya.

 

Selain itu, pemerintah masa itu juga menurunkan sebuah kapal di Tanjung Uma untuk menarik uang Dollar Singapura yang telah lama beredar dimasyarakat untuk menukarnya dengan mata uang KR.

 

“Bukan rupiah tapi KR, saat itu satu Dollar sama dengan satu KR,” katanya.

 

Ekonomi pun perlahan pulih saat berakhirnya konfrontasi pada 1965-1966.

 

Ekonomi Tanjung Uma Kembali Bangkit

 

Setelah masa konfrontasi ekonomi Tanjung Uma pun perlahan pulih dan mengalami puncaknya  pada tahun 1980-an saat Batu Ampar dijadikan sebagai lokasi Industri Offshore dan pembuatan jaket safety.

 

“Saat itu PT Ingram baru buka pada 1969. Mereka langsung merekrut masyarakat tempatan untuk bekerja. Baru pada tahun 1970 PT Ingram diambil alih oleh McDermott,” ungkapnya.

 

Bukan tanpa sebab, masa itu perusahaan offshore membutuhkan keahlian yang dimiliki masyarakat Tanjung Uma untuk melakukan penggalian pasir laut untuk membuat pelabuhan, infrastuktur dan perumahan.

 

“Orang Tanjung Uma ni kan pandai menyelam karena biasa melaut, mereka butuh orang-orang dengan keahlian itu,” kata Machmur Ismail.

 

Sementara yang pernah sekolah dipekerjakan di kantor perusahaan.

 

“Saya Alhamdulillah masa itu ditarik untuk bekerja sebagai estimator di PT McDermott. Pekerjaan saya untuk mengakumulasikan jumlah jaket,” jelas Machmur Ismail.

 

Bahkan menurutnya, waktu itu gaji seorang estimator dapat mencapai  Rp5 juta hingga Rp7 juta perbulan. Malahan pada tahun 1980-an gaji dapat mencapai Rp20 juta perbulan.

 

“Makan pun lebih mewah di zaman itu, apalagi belum ada regulasi yang mengatur UMR,” ujarnya.

 

Ekonomi pun semakin meningkat setelah Pertamina pun menjadikan wilayah sekitar Tanjung Uma sebagai lokasi base logistik. Bahkan kendaraan bermotor yang dimasa itu adalah barang mewah, memiliknya bagi masyarakat Tanjung Uma adalah hal yang biasa.

 

“Di tahun itu pun sudah mulai banyak pendatang yang masuk ke Tanjung Uma,” ujarnya.

 

Pengesahan Tanjung Uma Sebagai Kampung Tua

 

Setelah sekian lama mempertahankan eksistensinya sebagai perkampungan lama, pada tahun 2004, saat Kota Batam dipimpin oleh Nyat Kadir, dikeluarkanlah SK Walikota Batam nomor 105 tahun 2004 tentang Kampung tua.

 

“Waktu itu tokoh-tokoh Melayu berfikir, ini ada SK, tapi hanya sekedar SK sedangkan Keberadaan kampung tua tidak terealisasi,” ujarnya.

 

Berangkat dari situ, kaum pemuda melayu pun juga tergerak hatinya untuk turun ke jalan memperjuangkan pengesahan kampung tua pada tahun 2008. Mereka pun melakukan sejumlah aksi massa di kantor BP Batam.

 

Sehingga pada tahun yang sama berdasarkan pertimbangan dari tetua tokoh-tokoh melayu Batam, akhirnya seluruh masyarakat melayu membentuk musyawarah besar (Mubes) Rumpun Khazanah Warisan Batam (RKWB) di Asrama Haji Batam Center.

 

“Saat itu ada 34 lalu ditambah menjadi 37 titik kampung tua yang kita perjuangkan untuk diakui secara sah,” ceritanya.

 

Sehingga pada tahun 2010 akhirnya RKWB bersurat kepada walikota Batam, yang saat itu dijabat Ahmad Dahlan, BP Batam, dan Badan Pertanahan Nasional.

 

“Akhirnya pada 2010 dibentuklah tugu yang mematenkan keberadaan kampung tua sebagai warisan khazanah Batam,” tutup Machmur Ismail.

 

 

Exit mobile version