BATAM – Nelayan dari tiga kampung di Kecamatan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, berunjuk rasa meminta PT Raja Sakti Cemerlang menghentikan kegiatan reklamasi di kawasan tersebut, Senin (03/07).
Warga dari ketiga kampung, yakni Kampung Terih, Kampung Kelembak dan Kampung Sambau.
Salah seorang nelayan Kampung Terih, Mustafa mengatakan, kedatangan mereka ke lokasi, guna meminta aktivitas reklamasi dihentikan. Sebab, aktivitas tersebut mematikan mata pencarian nelayan.
“Puluhan tahun kami hidup dari laut, sekarang laut kami dirusak,” kata Mustafa.
Mustafa mengatakan, pihak PT Raja Sakti Cemerlang sebelumnya memang memberikan kompensasi. Namun, kompensasi itu tidak sebanding dengan dampak dari aktivitas reklamasi yang ditimbulkan.
“Harus sesuailah. Ini periuk jangka panjang. Nelayan mau ke mana lagi kalau semua sudah ditimbun,” kata dia.
Menurutnya, para nelayan sekitar tidak menentukan nominalnya. Ia menilai perusahaan lebih tahu nominal yang layak bagi nelayan untuk jangka panjang dari dampak yang mereka buat.
“Kalau cuma kasih Rp100 ribu per nelayan nggak usah, ditutup saja. Nelayan bisa cari Rp200 ribu per hari. Sekarang mau cari satu atau dua ekor kepiting saja sulit,” kata dia.
Para nelayan akan menerima kompensasi jika nominal sesuai dengan dampak yang ditimbulkan. Namun, ia tak menyebutkan berspa permintaan nelayan.
“Ditawarkan cuma Rp30 juta. Mau dibawa ke mana. Jumlah nelayan kami itu tiga kampung lebih dari 167 nelayan. Rp30 juta untuk tiga kampung mau bagi berapa. Rp100 ribu potong uang minyak. Bukan tak mau menerima, cuma itu tak layak,” kata dia.
Ia meminta pihak perusahaan untuk lebih memperhatikan nelayan. Sebab, hasil dari reklamasi ini akan berefek jangka panjang untuk pencarian mereka.
“Ini perusahaan untung, masyarakat yang menderita,” kata dia.
Pihak prusahaan dinilai, hanya mementingkan kepentingan perusahaan tanpa mempedulikan keberlangsungan hidup nelayan di sekitar lokasi reklamasi.
“Janganlah dipikir Batam ini tidak ada orangnya (penduduk aslinya). Kami sudah tujuh keturunan di sini. Ini kami tinggal di muara di Kampung Terih, hulu sungainya ditimbun sama mereka. Tidak ada bahasa sopan santun terhadap kita. Asal ada uang, suka-suka mereka,” kata dia.
Nelayan di sana sangat mendukung adanya pembangunan di lokasi itu. Namun perlu memperhatikan kondisi warga sekitar. “Tolonglah perhatikan kami,” kata dia.
Sementara itu, Perwakilan PT Raja Sakti Cemerlang Nainggolan mengatakan bahwa nominal kompensasi para nelayan sebelumnya terlalu besar, sehingga pihaknya tidak menyanggupi.
“Kami sudah bicara dengan nelayan, namun permasalahan kompensasi yang diminta ke kita terlalu besar. Tidak ada kita (perusahaan) tidak menghargai. Kita sangat menghargai kawan-kawan dari Melayu,” kata dia.
Baca juga: Pengunjung Terjebak dalam Lift, Manajemen Mega Mall Batam Minta Maaf
Sementara itu, ketua NGO Akar Bhumi Indonesia, Soni Riyanto menyanyangkan kurang tegasnya instansi terkait dalam penyelesaian masalah ini.
“Instansi terkait kurang tegas, jelas lokasi existingnya adalah mangrove. Aparatur kota batam mestinya sudah memasang yellow line agar perusahaan tidak beraktivitas hingga segala perizinan terpenuhi,” kata Soni.
Ada Perda No.4 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lanjut Soni, yang mestinya bisa lebih melindungi lingkungan dan masyarakat.
Dijelaskannya, Batam sebagai pulau kecil (dibawah 2.000 km2) juga dilindungi UU No.27 tahun 2007 junto UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Informasi dari masyarakat, sehari setelah RDPU perusahaan tak juga mengindahkan hasil keputusan RDPU untuk menghentikan semua aktivitas. Seolah anjing mengonggong kafilah berlalu, keputusan Komisi I DPRD Kota Batam pun tak digubris, ditakutkan terjadi anarkis di lapangan,” katanya. (*)
Ikuti Berita Lainnya di Google News