JAKARTA – Pemerintah berencana menerapkan standarisasi kemasan rokok tanpa merek alias polos menuai protes dari kalangan pebisnis industri tembakau hingga pedagang.
Wacana tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan, Angga Handian Putra beranggapan jika kebijakan kemasan polos tanpa merek pada produk tembakau di Indonesia tidak efektif menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
Angga juga menyebutkan, merujuk pada yang terjadi di Australia yang sudah lebih dahulu melakukan kebijakan tersebut.
Dia menyampaikan pandangannya itu dalam kegiatan dialog coffee morning dengan tema ‘Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek’ di Jakarta, Kamis 19 September 2024.
“Australia itu pada 2013 sudah mengeluarkan aturan itu. Saat itu terjadi perdebatan antarprofesor, apakah kebijakan kemasan polos ini efektif berkontribusi, misalkan menurunkan prevalensi merokok pada kalangan perokok pemula,” kata Handian Putra.
Menurut Angga, Kementerian Kesehatan seharusnya juga memiliki bukti-bukti ilmiah yang sangat ekstensif, untuk mendukung kebijakan rokok kemasan polos tanpa merek.
Ditambah lagi, Indonesia juga tidak bisa secara serta-merta mengadopsi kebijakan polos hanya karena negara lain melakukannya. Pasalnya, beberapa negara memiliki karakteristik yang berbeda.
“Misalnya (Kementerian Kesehatan) mencontoh kebijakan-kebijakan yang sudah juga diterapkan oleh Pemerintah Australia. Pasalnya, Indonesia cukup beragam, artinya berbagai perbedaan itu perlu disikapi bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek yang diterapkan oleh negara lain belum tentu akan efektif diterapkan oleh Indonesia,” jelas Angga.
Selain itu, Ketua GAPPRI Henry Najoan mengatakan, bisnis industri tembakau sudah berjalan hampir satu abad. Menurutnya, bisnis tembakau hingga saat ini masih berjalan sangat baik.
Henry menjelaskan, bisnis industri tembakau sudah membentuk mata rantai ekonomi dari hulu ke hilir dan melibatkan masyarakat lokal.
Apalagi, kata Henry, saat ini pengusaha rokok juga telah diawasi dan diatur dengan 480 peraturan yang ketat. baik sisi fiskal maupun non-fiskal yang meliputi peraturan daerah, bupati, wali kota, gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan.
Menurutnya, ratusan aturan tersebut memagari industri hasil tembakau layaknya BUMN yang dikelola swasta.
“Industri ini ketat diawasi. Tapi terlihat sekali selalu menekan industri ini,” ujarnya dalam acara coffee, Kamis 19 September 2024 mengutip cnbcIndonesia.
Pedagang menolak
Protes yang sama juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro. Suhendro mengatakan, pedagang juga menolak rencana penerbitan mengenai aturan kemasan rokok polos tersebut.
Sebab, kata dia, yang merupakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah paling merasakan dampaknya.
“PP ini harus direvisi, pemerintahan baru pak Prabowo Subianto, kita mohon dengan Menteri Kesehatan baru, revisi PP 28/2024,” sebut Suhendro.
Adapun poin penolakan APARSI. Yaitu, aturan penjualan rokok dengan jarak minimal 200 meter yang bakal mengancam keberlangsungan hidup para pedagang.
“200 meter ini siapa yang akan ukur? bagaimana pengawasannya. Di pedangan pasar, kontribusi terbesar dari fast moving, salah 1 rokok, kalau 200 meter ini gimana? pasti berat,” terang Suhendro.
Dia juga menjelaskan, di kawasan pasar ada ruang kesehatan, ruang bermain anak, hingga ruang merokok, yang dipisahkan antar lantai.
“Kalau tidak boleh 200 meter, gimana? lucu,” ucapnya.
Lanjutnya, kemasan polos sulit membedakan antara rokok legal dan ilegal. Selain itu, harga jual yang akan naik juga akan meresahkan konsumen.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merijanti Punguan Pitaria mengatakan beberapa negara sudah terbukti menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, tidak serta-merta menurunkan prevalensi perokok, namun malah meningkatkan peredaran rokok ilegal.
“Apalagi di Indonesia kontribusi industri hasil tembakau terhadap negara itu sangat besar. Seharusnya kebijakan yang dikeluarkan itu harus demi kepentingan nasional,” jelas Merijanti Punguan Pitaria di Jakarta, Kamis 19 September 2024.
Meri pun mempertanyakan Kementerian Kesehatan apakah telah mempertimbangkan potensi dari kontribusi industri tembakau dalam merancang peraturan tersebut.
Dia juga mengharapkan Kemenkes melibatkan stakeholders sebagai dasar membuat kebijakan ini. Sayangnya, Kemenperin maupun kementerian lainnya seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak dilibatkan dalam perumusan RPMK.
Masukan dari Kementerian/Lembaga terkait juga tidak diakomodir dalam perumusan Peraturan Pemerintah 28/2024 yang menjadi aturan acuan RPMK tersebut.