TANJUNGPINANG – Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 0,66% ke Rp15.310/US$1 pada Senin (14/08). Posisi ini terlemah dalam empat bulan terakhir.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Selasa (15/08), pelemahan sebesar 0,66% dalam sehari juga menjadi depresiasi terdalam sejak 6 Februari 2023 atau enam bulan terakhir di mana rupiah ambruk 1,07%.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto menjelaskan rupiah melemah karena tekanan sentimen global.
Termasuk di dalamnya adalah proyeksi masih hawkishnya Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dan ekonomi Tiongkok yang di bawah ekspektasi pasar.
“BI tentunya memastikan keseimbangan supply-demand terjaga dengan baik, dan untuk memastikan tidak terjadi gejolak nilai tukar yang tinggi,” ujar Edi.
Sejalan dengan Edi, Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede menuturkan ada dua hal yang membuat mata uang Asia khususnya Indonesia melemah, yakni data inflasi AS dan data ekonomi China.
Baca Juga: Bazar UMKM Bank Indonesia Hiasi Pergelaran Bajafash 2023
“Pekan lalu, data Indeks Harga Produsen (PPI) AS yang masih berada dalam tren yang cukup tinggi. Sebelumnya juga rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS yang mengalami peningkatan, namun core inflation menunjukkan tren menurun,” ujar Josua.
Inflasi dan PPI yang masih tinggi membuat pelaku pasar memperkirakan The Fed masih akan mengerek suku bunga sebesar 25 basis poins (bps) pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) September mendatang.
Dia menambahkan faktor perlambatan ekonomi China mempengaruhi mata uang Asia. CPI China tercatat mengalami deflasi 0,3% (year on year/yoy) pada Juli 2023. Ini merupakan deflasi pertama sejak Februari 2021.
Sementara itu, PPI mengalami deflasi 4,4% (yoy). Dengan demikian, PPI sudah mengalami deflasi sepanjang 10 bulan beruntun.
Ini adalah kali pertama CPI dan PPI China sama-sama mengalami deflasi sejak 2009. Pada saat itu, dunia tengah diguncang krisis keuangan global.
Deflasi China ini tentu saja menguatkan sinyal jika ekonomi Sang Naga sedang tidak baik-baik saja dan hal ini menjadi kekhawatiran global sebab China adalah negara dengan size ekonomi terbesar kedua setelah AS. Bila ekonomi China macet maka pertumbuhan global bisa macet.
Baca juga: Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2023 Akan Jangkau Pulau Terluar di Kepri
Tidak hanya itu, data ekonomi Purchasing Manufacturing Index pun ikut. China Caixin Manufacturing PMI menunjukkan kontraksi dengan angka 49,2 pada Juli 2023. Angka ini lebih rendah dari periode sebelumnya yang masih berada di atas 50, tepatnya 50,5.
Angka 49,2 yang lebih rendah daripada ekspektasi 50,3 atau dengan kata lain di bawah 50 ini berarti China sedang mengalami kontraksi dan berdampak ke global termasuk Indonesia.
Masih dikutip dari CNBC Indonesia, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, pelemahan rupiah yang menembus Rp15.300/US$1 ini dipastikan tidak akan mengganggu keberlangsungan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023, kata
Dia mengatakan, pelemahan tersebut masih tercakup ke dalam skenario yang diperhitungkan pemerintah. Oleh sebab itu, ia memastikan, pelemahan itu tak akan berdampak banyak ke beban belanja, pembiayaan, ataupun penerimaan negara.
“Nah ini sudah kita siapkan dan untuk 2023 ini juga sebenarnya sudah cukup forward looking jadi kita akan bisa tetap jaga,” kata Febrio.
Febrio juga menegaskan tekanan pelemahan tersebut juga tidak akan membuat beban subsidi kembali membengkak. Terutama karena rata-rata pergerakan nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini masih akan berada di kisaran Rp15.100 per dolar AS.
Baca Juga: Bank Indonesia Perluas Koneksi QRIS ke Malaysia
Senada dengan Febrio, Ekonom Makro Ekonomi & Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan meskipun fluktuasi nilai tukar mata uang di negara berkembang cukup drastis namun volatilitas rupiah masih lebih stabil dibandingkan negara lainnya.
Apalagi data inflasi dan labor market AS yang mengarah ke sentimen menahan/mengurangi suku bunga ke depan membuat rupiah menguat.
Ia pun menambahkan hingga saat ini tidak diperlukan intervensi dari Bank Indonesia (BI) karena volatilitas yang terjadi masih relatif aman.
Sepakat dengan pengamat lainnya, Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz menyebutkan fundamental ekonomi Indonesia lebih baik daripada saat Taper Tantrum.
Kepemilikan asing pada obligasi pemerintah yang bisa diperdagangkan saat ini lebih rendah dibandingkan pada saat Taper Tantrum.
Pada saat Taper Tantrum, kepemilikan asing sebesar 30%, namun sekarang kepemilikan asing hanya dikisaran 14-15%. Alhasil, dinamika global tidak terlalu cepat berdampak pada pasar domestik.
Ia juga menilai untuk menghadapi berbagai sentimen global, BI perlu terus memperkuat triple intervention-nya. BI harus memperhatikan cadangan devisa (cadev) meskipun dalam tren turun akibat kinerja ekspor dan harga komoditas.