Tanjungpinang – Nama Prof Sarah Gilbert mengundang perhatian publik dunia akhir pekan ini. Dia merupakan seorang ahli imunologi berkewarganegaraan Inggris yang menemukan vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Dia mendapatkan apresiasi besar dari banyak pihak, lantaran profesor vaksinologi di Universitas Oxford itu melepaskan hak patennya atas vaksin tersebut, sehingga bisa diproduksi dalam jumlah besar dan dengan harga murah.
Karena itulah, tidak berlebihan rasanya jika dia mendapatkan standing ovation di Lapangan Tengah Kejuaraan Wimbledon 2021 kemarin. Wimbledon sendiri adalah sebuah turnamen tenis terkemuka yang diselenggarakan selama sekitar dua minggu setiap tahunnya.
Pada kesempatan itu, Gilbert termasuk salah satu individu inspiratif yang diundang untuk menonton pertunjukan hari pertama pertandingan dari zona kerajaan Inggris.
Lantas, siapakah sebenarnya Sarah Gilbert?
Mengutip BBC, Sarah Gilbert merupakan wanita kelahiran Kettering, Northamptonshire pada April 1962. Ayahnya bekerja di bisnis sepatu sementara ibunya adalah seorang guru bahasa Inggris dan anggota masyarakat opera amatir lokal.
Setelah menyelesaikan gelar doktornya, dia mendapat pekerjaan di pusat penelitian pembuatan bir. Di sana dia mempelajari cara memanipulasi ragi pembuatan bir, sebelum kemudian beralih bekerja di bidang kesehatan manusia.
Dalam sebuah wawancara, Gilbert mengaku bahwa dirinya tidak pernah bermaksud untuk menjadi spesialis vaksin. Namun pada pertengahan 1990an, dia berada dalam pekerjaan akademis di Universitas Oxford dan melihat genetika malaria. Hal itulah yang membuatnya tertarik pada pekerjaan pada vaksin malaria.
Ibu Dari Anak Kembar Tiga
Karirnya yang cemerlang tidak lantas membuatnya lupa akan perannya menjadi seorang ibu. Dia mengaku bahwa hidupnya menjadi sedikit lebih rumit ketika dia melahirkan anak kembar tiga.
Meski begitu, dia menjalankannya dengan sebaik mungkin. Salah seorang putranya, Freddie, menggambarkan ibunya sebagai sosok yang selalu mendukung dan mengutamakan kepentingan anak-anak.
Gilbert sendiri mengaku bahwa dia membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Meski begitu, semua anaknya pada akhirnya memilih untuk belajar biokimia di universitas.
Rekam Jejak Pembuatan Vaksin
Dari Oxford, Dr Gilbert naik pangkat, menjadi profesor di Jenner Institute yang bergengsi di universitas. Dia membentuk kelompok penelitiannya sendiri dalam upaya untuk membuat vaksin flu universal, yang berarti vaksin yang akan efektif melawan semua jenis varian yang berbeda.
Pada tahun 2014, di memimpin uji coba pertama vaksin Ebola. Dan ketika virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) menyerang, dia pergi ke Arab Saudi untuk mencoba mengembangkan vaksin untuk bentuk virus corona ini.
Uji coba kedua vaksin itu baru saja dimulai ketika pada awal 2020, Covid-19 mulai menyebar kesejumlah negara di dunia. Pada saat itu, dia segera menyadari bahwa dia mungkin bisa menggunakan pendekatan yang sama.
Melawan Covid-19 Bukan Untuk Uang
Di masa pandemi Covid-19, dia dan sejumlah rekannya menghabiskan waktu beberapa minggu untuk membuat vaksin yang bekerja melawan Covid-19 di laboratorium.
Gilbert menggambarkan proses tersebut lebih sebagai serangkaian langkah kecil daripada menjadi momen terobosan besar.
“Sejak awal, kami melihatnya sebagai perlombaan melawan virus, bukan perlombaan melawan pengembang vaksin lain,” kata Gilbert awal tahun ini.
“Kami adalah universitas dan kami tidak berada di sini untuk menghasilkan uang,” tegasnya.
Nama Indonesia Di Deretan Tim Prof Sarah Gilbert
Di antara deretan ilmuwan yang berada di dalam tim Prof Sarah Gilbert, terdapat peran serta peneliti asal Indonesia. Dia adalah dr. Indra Rudiansyah, PhD, peneliti Biofarma yang sedang melanjutkan studi di University of Oxford.
BBCmengabarkan bahwa Indra sebelumnya juga pernah melakukan penelitian vaksin malaria.
Murid lain dari Gilbert di Oxford bergabung di dalam TFRIC-19 dan mengembangkan kit test PCR merah putih, mBio CoV-19 adalah Fara Rangkuti dari Nusantics. *
Pewarta : rmolbanten.com
Editor : MD Yasir