Cerita dari Gunung Sampah

TPA Telaga Punggur
Para pemulung di TPA Telaga Punggur, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. (Foto: Muhamad Islahuddin)

Truk-truk pengangkut sampah berjejer rapi menunggu antrean untuk memuntahkan muatannya di tempat pembuangan akhir (TPA) Telaga Punggur, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Sampah itu bersumber dari berbagai penjuru di kota itu. Seorang petugas tampak memberi arahan. Ia memberi kode melalui tangan, dan peluit yang senantiasa diapit bibirnya.

Petugas itu meminta truk-truk yang antre maju perlahan.

Dua truk mendapat giliran memuntahkan sampah muatannya di gunung sampah Zona D-TPA Punggur. Alat berat yang berada di atas gunung telah siap membantu truk itu mengeluarkan semua isi muatannya.

Puluhan pemulung dengan keranjang besar di punggung dan gaco di tangan juga telah bersiap memilih sampah untuk mereka kumpulkan.

Aroma menyengat menusuk indera penciuman dari tumpukan sampah di sekitar lokasi terasa menusuk hidung. Bagi mereka yang hidup di antara tumpukan sampah yang menggung itu, perlahan bau busuk bak minyak wangi yang menemaninya.

Begitulah yang terjadi dengan para pemulung di kawasan itu.

Suatu siang yang terik, Sabtu, 6 Januari 2024, seorang wanita duduk melepas lelah di bawah pohon, di tepian gunungan sampah, tempatnya biasa berteduh. Adalah Yeni, salah seorang pemulung di kawasan itu yang baru saja turun dari gunungan sampah setelah mengisi penuh keranjangnya dengan botol-botol plastik.

“Saya di sini sudah dari 2007,” kata Yeni memulai ceritanya selama menjadi pemulung di TPA Punggur.

TPA Telaga Punggur adalah satu-satunya tempat pembuangan sampah di Batam. Dibangun Otorita Batam tahun 1997 dan dioperasikan Pemko Batam sejak 2002. Luas areanya 46,8 hektare.

Perempuan berusia 48 tahun itu, seperti pohon tua yang menopang beban waktu, menyimpan banyak cerita di dalam kehidupannya. Baginya, perjalanan waktu menjadi pemulung lebih banyak menuai cerita susah daripada senangnya.

Perempuan beranak dua itu memaknai kebahagiaan secara sederhana. Ia tampak ceria mana kala tangan-tangannya yang kasar berhasil menyelesaikan tugas harian. Selesai menimbang barang-barang bekas yang telah ia kumpulkan dengan susah payah.

Tumpukan botol-botol bekas yang berderet di sekelilingnya seperti saksi bisu dari perjalanan panjangnya. Mereka adalah bukti nyata dari setiap langkah yang diambilnya di tengah gunungan sampah.

Rupiah yang dihadiahi sebagai imbalan bagi setiap botol plastik bekas yang ditemukan bukan hanya sehelai kertas berharga. Bagi perempuan itu, rupiah-rupiah itu adalah lembaran kisah hidupnya yang dipupuk dengan peluh dan kegigihan.

“Dapat sekian, alhamdulillah. Kalau dipikir-pikir kami carinya itu setengah mati. Ibarat kata itu, ‘kepala buat kaki, kaki buat kepala.’ Tidak takut panas atau hujan, yang penting kita dapat barang,” ucap wanita berdarah Sunda itu, lirih

Setiap pukul 07.00 pagi, sama seperti hari-hari sebelumnya bak ritual harian yang tak terelakkan, Yeni akan berdiri di puncak gunungan sampah bersiap memulai tugasnya. Pekerjaan yang dijalani setiap hari ini bukan hanya rutinitas, melainkan perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup.

Begitu matahari mulai merunduk di barat, Yeni tahu saatnya untuk menyudahi pekerjaannya. Botol-botol plastik yang berhasil ia kumpulkan seperti obat lelah dari setiap runitasnya itu.

“Jam 7 sudah mulai, jam 3 sore sudah pulang,” kata dia.

Yeni tak pernah menyebut pasti berapa hasil dari pekerjaannya itu, tapi ia selalu berucap, “Cukuplah buat makan, yang penting halal.” Kata-kata itu seolah menjadi mantra sederhana yang mencerminkan filosofi hidupnya. Sangat sederhana.

Baca juga: Ketika Baliho Raksasa Gemoy “Cemari” Ikon Wisata Batam

Bagi Yeni pula nilai rupiah yang setiap hari tidak selalu menjadi penentu kebahagiaan. Cukup untuk memiliki sesuap nasi yang didapat dengan kerja keras dan kejujuran.

Kesenangan lain yang pernah ia rasa kala menemukan dolar walaupun hanya satu dolar saja. Ataukah ketika menemukan uang recehan menggema di dalam kantong plastik yang tak sengaja terbuang oleh pemiliknya.

“Bersyukurnya di situ,” kata dia.

Kejadian pahit pernah ia alami dan sangat membekas baginya, kala botol-botol plastik, yang telah ia kumpulkan seharian, diambil alih oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Baginya, itu bukan hanya sebuah kehilangan barang, melainkan luka dalam di hatinya.

“Bayangkan saja, kami capek, malah dicuri orang,” kata dia.

Di akhirnya ceritanya, Yeni berpesan, pekerjaan apapun adalah suatu yang mulia, meskipun pemulung di gunungan sampah. Satu baginya yang selalu ia pegang, “Rezeki yang halal, dan tubuh yang sehat,” pungkasnya. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News