Dilema Hidup Di Lokasi Rawan Bencana

Dilema Hidup Di Lokasi Rawan Bencana
Dokumen - Seorang warga merapikan tenda bantuan dari Kemensos di Taman Jaya, Pandeglang, Banten, Sabtu (29/1/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj

Jakarta – Tempat tinggal Syamsuri berada dalam dekapan tiga bencana besar seperti tsunami, gempa dan letusan Anak Krakatau yang bisa menerjang kapan saja. Sadar menetap di lokasi bencana membuat Syamsuri hanya bisa berdoa supaya nasib apes tak menimpa dia beserta keluarganya.

Masih hangat dalam benak Syamsuri, saat tsunami yang tiba-tiba menerjang wilayah paling barat Pulau Jawa itu pada 2018, meluluhlantakkan wilayah Sumur di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Kecamatan Sumur membawahi tujuh Desa. Syamsuri tinggal di Desa Tamanjaya, bersebelahan dengan Desa Ujungjaya yang menjadi penyangga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Setahun berselang, gempa bermagnitudo 7,4 kembali membuat ia dan keluarga mengungsi selama sepekan.
Tsunami akibat longsoran gunung Anak Krakatau dan gempa Magnitudo 7,4 tak hanya membuat kerusakan parah, termasuk menghajar sisi psikologis warga.

Baca juga: Flash News – Gempa Berkekuatan M 6,7 Guncang Banten

Pada 14 Januari 2022 saat matahari mulai terbenam, Syamsuri memandang bentangan laut, memastikan air tak tiba-tiba surut. Saat itu, gempa berkekuatan 6,6 menerjang wilayah Banten. Gempa dangkal dengan kedalaman 40 km itu membuat hatinya berkecamuk. Sebab, jarak antara bibir pantai dengan permukiman warga tak kurang dari 200 meter.

Pikirannya pun liar saat membayangkan tsunami menerjang seperti pada 2018 lalu. Saat kondisi gelombang laut dirasa normal, ia lantas menggantungkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kondisi bangunan. Tiba-tiba terdengar suara ambruk dari belakang rumahnya, tepatnya dapur milik pria yang menjabat Sekretaris Desa (Sekdes) Tamanjaya itu roboh tak berbentuk.

Selain menyelamatkan keluarganya, sebagai Sekdes, ia juga harus memastikan warga Tamanjaya telah terevakuasi. Sebab setelah gempa inti, terjadi lebih dari 30 gempa susulan. Tak ada korban jiwa, tapi 20 rumah mengalami rusak berat dan sudah sepatutnya tak ditinggali lagi.

Hal yang sama juga dialami Rohaeni. Gempa membuat rumahnya menjadi tak layak huni. Dinding tembok rumah Eni, panggian akrabnya, miring dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk benar-benar roboh.

Baca juga: Gempa Banten Sebabkan Kerusakan Sejumlah Bangunan, Warga Diimbau Waspada Gempa Susulan

Kini, dia beserta keluarga hanya bisa mengungsi di rumah kerabat yang kondisinya agak lebih baik. Sesekali ia memanfaatkan tenda darurat yang diberikan Kementerian Sosial untuk sekadar beristirahat sambil meninabobokkan balitanya.

Eni pun hanya bisa menunggu bantuan dari pemerintah. Rumahnya telah masuk pendataan untuk direhabilitasi, kendati tak tahu kapan akan diperbaiki.

“Untuk membangun kembali butuh uang yang banyak, saya tidak punya uang lebih untuk itu,” kata Eni.

Bayang-bayang Bencana

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan daratan sekitar pusat gempa bumi di Banten pada umumnya berupa morfologi dataran dan perbukitan bergelombang hingga terjal yang tersusun oleh endapan sedimen berumur kuarter hingga tersier.

Endapan kuarter dan tersier yang telah mengalami pelapukan pada umumnya bersifat urai, lunak, lepas, belum kompak dan memperkuat efek guncangan, sehingga rawan gempa bumi.