Ketika Batam Menjadi Pesaing Malaysia dan Singapura

Ketika Batam Menjadi Pesaing Malaysia dan Singapura
Ilustrasi - Pelabuhan di Batam. Foto: BP Batam

Selain industri manufaktur, BP Batam juga akan menggenjot industri jasa yang ada. Sehingga nantinya akan bisa berjalan bersamaan dengan industri manufaktur. Adapun yang menjadi fokus industri jasa yang akan dikembangkan adalah di bidang pariwisata, logistik, perbaikan dan pemeliharaan pesawat (MRO), pendidikan dan keuangan, dan kesehatan.

Rencana lainnya yang akan dikembangkan juga adalah menjadikan Batam sebagai kota digital dan pusat pertumbuhan start up. Pernyataan tersebut sesuai dengan peta jalan revolusi industri 4.0 dan didukung pula dengan adanya Nongsa Digital Park.

Ada beberapa jenis industri yang masuk ke dalam industri unggulan, baik untuk investor asing maupun dalam negeri. Industri unggulan bagi modal asing meliputi industri di bidang logam dan mesin, kulit (karet, plastik, dan kemasan), elektronik, perkapalan, dan migas. Sedangkan untuk modal dalam negeri, dapat berinvestasi pada bidang industri jasa seperti transportasi, industri konstruksi, logam dan mesin, serta perkapalan.

Dualisme Kewenangan Berakhir

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007, Batam dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dibentuk dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi kawasan.

Namun, pada tahun 2016 silam, Batam mengalami masalah serius karena adanya tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dengan BP Batam. Hal ini terjadi karena adanya benturan peraturan antara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dengan UU Nomor 36 Tahun 2000, sehingga terjadi dualisme kewenangan membuat bingung para investor yang akan masuk ke Batam.

Persoalan itu mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan atensi agar persoalan itu segera diselesaikan. Alhasil, status Batam dari kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK). Perubahan status itu untuk menyelesaikan tumpang tindih kewenangan di Batam.

Menurut Staf Ahli Menteri Dalam Negeri yang juga mantan Pejabat Gubernur Kepri, Nuryanto, akibat tumpang tindih kewenangan tersebut, investor di Batam kekurangan gairah untuk berinvestasi.