IndexU-TV

Mengenal Kecenderungan Kasus Bunuh Diri, Ini Faktor dan Tanda-Tandanya Menurut Sosiolog

Sosiolog Universitas Maritim Raja Ali Haji, Marisa Elsera (Foto:Dok/Pribadi/Marisa Elsera)

BATAM – Peristiwa bunuh diri belakangan ini menjadi sorotan. Salah satunya kasus yang viral, yakni Muhammad Mahdi yang terjun dari Jembatan 1 Barelang, Sabtu 11 Mei lalu.

Setelah jasadnya ditemukan, Rabu 15 Mei 2024, di hari yang sama seorang pria lain, Dedi Gunawan juga diduga bunuh diri dengan terjun dari Jembatan 4 Barelang.

Pakar Sosiolog Universitas Maritim Raja Ali Haji, Marisa Elsera turut memberikan pandangannya terkait peristiwa bunuh diri tersebut.

Uniknya menurut Marisa Elsera, bunuh diri memiliki pola musiman dan memiliki penyebab serta selalu disertai tanda-tanda.

“Ingat dulu di Tanjungpinang sekitar 2017 atau 2018 pernah ada 4 kasus bunuh diri yang terjadi berdekatan dalam kurun waktu 3 bulan. Nah sekarang terjadi juga di Batam dengan rentang waktu berdekatan,” jelas dosen jurusan Sosiologi Kampus UMRAH tersebut.

Marisa menerangkan dalam kacamata sosiolog, fenomena bunuh diri telah menjadi pembahasan selama puluhan tahun. Salah satunya adalah pandangan Emile Durkheim terkait ‘suicide’ atau bunuh diri.

Dalam tulisan durkheim terdapat 4 istilah bunuh diri, pertama egoistic suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan integrasi individu dengan masyarakat yang begitu lemah atau renggang.

“Biasanya dialami orang yang merasa tidak memiliki support system, selalu sendiri, disalahkan, tidak diacuhkan atau diabaikan oleh baik keluarga atau lingkungannya,” jelas Marisa.

Kemudian altruism suicide, lanjut dia, merupakan kebalikan dari egoistic suicide yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh integrasi sosial individu dengan masyarakat yang terlalu kuat.

“Contohnya ketika seseorang merasa sangat dikekang, diperhatikan sehingga dirinya merasa tidak bebas,” terangnya.

Jasad pria terjun di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. (Foto:Dok/Tim SAR)

Selanjutnya, anomie suicide yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh memudarnya norma. Sehingga seseorang merasa limbung (kebingungan) dengan nilai dan norma di masyarakat.

“Misalnya mereka yang merasa kecewa dengan penegakan dan hukum yang berlaku,” ungkapnya.

Terakhir fatalistic suicide, yang disebabkan oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat terlalu berlebihan.

“Contohnya seseorang yang terlalu ditekan oleh nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Misalnya saat seseorang bermain media sosial ia terlalu di hakimi atas postingan yang ia buat, jangan begini jangan begitu,” sebut Marisa.

Marisa menjelaskan, jika dilihat dari fakta social terkait kasus bunuh diri di satu waktu, seseorang yang memiliki keinginan bunuh diri, akan mencoba mempelajari penyebab dari pelaku aksi tersebut.

“Oh ternyata karena tekanan ekonomi, oh ternyata karena percintaan,” ujar Marisa.

Lalu, sebagian orang tersebut akan mempelajari kasus-kasus sebelumnya yang disampaikan oleh media, kemudian mempelajari motif dan caranya. Sehingga ia akan menjadikan itu percontohan untuk melakukan hal yang sama.

“Karena itu saya juga berharap ketika media memberitakan kriminalitas tak hanya kasus bunuh diri jangan terlalu vulgar, karena bisa jadi percontohan bagi pelaku lain,” pungkasnya.

Apalagi bunuh diri, merupakan aksi yang dilakukan untuk menyampaikan sebuah maksud, perasaan dan pesan karena sebelumnya mereka tidak memiliki kesanggupan untuk menyampaikannya bahkan tidak pernah didengar.

“Sehingga mereka menyampaikannya lewat aksi bunuh diri,” terangnya lagi.

Faktanya menurut Marisa, dalam banyak kasus bunuh diri, sebagian pelaku selalu meninggalkan bukti berupa pencarian terkait cara bunuh diri dan berita-berita di media sosial atau internet.

Exit mobile version