Pertama mengenai rentang waktu dan jarak Tanjungpinang pada masa itu sangat jauh dari pusat ibu kota Indonesia, sehingga kabar merdekanya Indonesia lambat terdengar di pelosok negeri seperti Kepulauan Riau.
Kemudian, sambungnya, secara historis juga wilayah Tanjungpinang Kepulauan Riau menjadi bagian-bagian dari perjalanan sejarah Riau, Johor, Pahang dan Lingga pada saat itu wilayah kerajaan mencapai Singapura dan Malaysia.
Pada masa itu Kepulauan Riau lebih banyak berhubungan dengan negara-negara perbatasan. Bahkan, sebutnya, kemerdekaan Indonesia juga didengar melalui radio Singapura.
“Sebagaimana kita ketahui sebelum tahun 1945 sosial ekonomi Kepulauan Riau lebih dekat dengan Malaysia dan Singapura. Selain rentang waktu, ada historis dan geografis, yang menyebabkan Kepulauan Riau terlambat mengibarkan bendera merah putih,” sebutnya.
Selain faktor itu, sambungnya, di dalam sejarah, setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda kembali ingin menguasai Indonesia melalui mendompleng Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
“Nah ada jalan berliku dan perjalanan panjang pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada masa itu, tidak hanya melalui konfrontasi tetapi juga meja diplomasi yang sangat panjang, di antara tahun 1945 sampai 1949,” jelasnya.
Pada masa Belanda ingin merebut Indonesia kembali, melewati beberapa perjanjian seperti perjanjian Linggarjati pada tahun 1994, perjanjian Renville dan hingga berlanjut perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949, dan dilanjutkan dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949.
“Kemudian berakhir pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Nah selain rentang waktu, historis dan geografis, ada faktor politik yang negara juga masih proses pengakuan kedaulatan melalui berjalan berliku. Setelah proses pengakuan kedaulatan itu sudah resmi baru, baru Kepulauan Riau 29 Desember 1949 mengibarkan bendera merah putih pertama kali,” pungkasnya.
Editor: Albet