Pembahasan UMK Batam 2025 Mandek, Apindo Khawatir Dunia Usaha Terdampak

Pengamat Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Rafki Rasyid (Foto:Randi RK/Ulasan.co)

BATAM – Pembahasan Upah Minimum Kota (UMK) Batam untuk tahun 2025 hingga saat ini belum menunjukkan perkembangan yang berarti.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid menyatakan, hingga kini belum ada kemajuan dalam proses pembahasan UMK tersebut.

Rafki menjelaskan bahwa terhambatnya penetapan UMK lantaran belum adanya surat resmi dan aturan tata cara perundingan upah dari Kementerian Tenaga Kerja.

“Belum ada progresnya. Kami masih menunggu surat dari pemerintah pusat,” kata Rafki Rasyid, Ahad 08 November 2024, saat dimintai keterangan soal progres pembahasan UMK Batam.

Dia berharap pemerintah pusat segera mengeluarkan panduan perundingan yang diperlukan, agar penetapan upah minimum tidak terhambat.

“Kami berharap pemerintah pusat segera menerbitkan aturan tata cara perundingan upah minimum. Mengingat waktu yang terus berjalan. Jangan sampai penetapan upah tahun depan tertunda,” sambung Rafki.

Ia menambahkan, kepastian dari pemerintah sangat penting bagi para pengusaha untuk memperhitungkan biaya produksi tahun depan, termasuk dalam mengajukan harga baru untuk produk yang akan dipasarkan.

“Pengusaha butuh kepastian agar bisa menghitung biaya produksi tahun depan,” katanya lagi.

Jika proses ini tertunda, lanjut dia, hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian yang bisa berdampak negatif pada keberlangsungan dunia usaha.

Desakan kenaikan UMK Batam 2025 berisiko Tingkatkan Angka pengangguran

Rafki pun menyampaikan kekhawatirannya, terkait tuntutan buruh untuk menaikkan Upah Minimum Kota (UMK) Batam hingga 30 persen.

Lagi-lagi menurutnya, tuntutan tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti meningkatnya angka pengangguran dan eksodus perusahaan dari Batam.

Dis juga menjelaskan bahwa penghitungan kenaikan UMK sebenarnya sudah diatur dalam Permenaker No. 51 Tahun 2023, yang menggunakan rumus inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dan dikalikan faktor ‘alfa’.

Selain itu, Rafki menerangkan, untuk wilayah Batam inflasi berada di kisaran 3 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,02 persen pada tahun 2023.

Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut dia, jika dikalikan dengan alfa yang bergerak dari 0,1 sampai 0,3 persen, hasilnya menjadi 2,1 persen. Jika dihitung, kenaikan UMK Batam diperkirakan hanya sekitar 5 persen.

“Kalau kawan-kawan buruh mintanya kan 30 persen, ini yang harus dipertanyakan hitungannya dari mana. Mereka katakan itu dari survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL),” terangnya.

Sementara itu, Rafki menyebutkan bahwa Apindo telah melakukan survei KHL di Batam, yang menunjukkan angka sekitar Rp3 juta.

Dengan UMK Batam yang sudah mencapai Rp4,65 juta, kata dia, maka nominal tersebut dianggap sudah lebih melebihi kebutuhan hidup layak bagi pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun.

“Tapi kalau dia sudah berkeluarga dan bekerja diatas satu tahun, itu seharusnya upahnya diatas upah minimum sesuai yang diwajibkan oleh permenaker terkait upah, struktur dan skala upah. Nah kalau ingin memperjuangkan kesejahteraan ya disitu jangan di upah minimumnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Rafki menyampaikan bahwa kenaikan UMK yang terlalu tinggi dapat membuat sejumlah perusahaan tidak sanggup memenuhi kewajiban tersebut. Sehingga terpaksa melakukan efisiensi, dengan mengurangi tenaga kerja atau bahkan menutup usaha mereka.

“Upah minum itu kan jaring pengaman, kalau jaring pengaman dinaikan akan terjadi penambahan pengangguran. Ini pernah terjadi pada 2017, ketika banyak perusahaan hengkang ke negara lain seperti Vietnam dan Kamboja, karena terus didemo,” ungkapnya.

Rafki kembali menekankan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, sebaiknya perjuangan dilakukan melalui struktur dan skala upah di masing-masing perusahaan, bukan melalui kenaikan UMK.

Menurutnya, banyak perusahaan di Batam yang sudah membayar di atas upah minimum, namun perlu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan agar tidak terjadi ledakan pengangguran yang merugikan semua pihak.