IndexU-TV

Pilkada Langsung atau Tidak?

Robby Patria, Tenaga Pengajar UMRAH
Robby Patria/Dosen di PBSI UMRAH/Ketua Satu Pena Kepulauan Riau. (Foto: Dok Robby Patria)

Penulis: Robby Patria/Dosen di PBSI UMRAH/Ketua Satu Pena Kepulauan Riau

Terjadi perdebatan kembali apakah pilkada langsung atau pilkada tidak langsung setelah Presiden Prabowo mewacanakan pilkada dikembalikan seperti dulu.

Pilkada serentak tahun 2024 banyak kejutan kejutan terjadi baik di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) maupun di luar Kepri. Keunikan di pilkada kali ini, beberapa lembaga survei salah memprediksi kemenangan calon.

D Kabupaten Natuna misalnya, bupati incumbent Wan Siswandi tumbang oleh kekuatan calon bupati Cen Sui Lan yang berpasangan dengan Jarmin. Cen bukan orang asli Ranai. Dia ke Ranai saat beberapa tahun terakhir setelah menjadi anggota DPR RI dapil Kepri. Sebenarnya calon utama Golkar di Natuna Hadi Candra. Namun karena ia berhalangan dalam tahanan, digantikan Cen yang tak terpilih menjadi anggota DPR RI tahun 2024.

Di Anambas juga menarik. Aneng, calon diusung Demokrat, Golkar bisa menang melawan Wan Zuhendra dan Ahmad Yani yang sudah dua periode jadi wakil bupati Anambas. Dan Ahmad Yani sosok tak asing bagi warga Anambas telah malang melintang di DPRD Anambas. Ahmad Yani pernah menjadi Ketua DPRD Anambas.

Sebenarnya kalau keterkenalan, pasangan Wan Zuhendra lebih dikenal. Namun warga Anambas memilih Aneng yang baru saja mereka ketahui sosoknya. Natuna dan Anambas dua daerah di luar Kepri yang mendapatkan pemimpin baru, tentu saja orang baru mereka kenal. Dan sepak terjang di birokasi tidak sekenyang calon lain.

Dan tak kalah menarik adalah kekalahan walikota Batam Muhammad Rudi di pilkada Kepulauan Riau. Padahal Rudi sudah 14 tahun menjadi walikota dan wakil walikota serta Kepala BP Batam. Dengan perubahan Batam dari sisi infrastruktur pada saat Rudi menjadi kepala daerah memberikan manfaat bagi kenyamanan Batam bagi warga.

Namun, pembangunan menyulap Batam menjadi daerah tujuan wisata, tujuan investasi, tujuan  belajar, dan kemewahan infrastruktur anehya tidak mendapatkan respon positif warga Batam ketika Rudi mencalonkan di pilkada gubernur.
Batam sebagai basis utama pergerakan Rudi bisa dikalahkam oleh kompetitornya. Rudi kalah di Batam. Dan itu di luar prediksi banyak pihak.

Pemilihan Oleh DPRD

Penomena kekalahan tokoh yang terkenal di pilkada serentak tahun 2024 ini menarik perhatian semua pihak. Akibatnya dalam HUT Golkar beberapa hari ini, Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.

Alasannya biaya pilkada langsung tahun 2024 ini mengeluarkan banyak biaya negara hingga lebih Rp41 triliun duit negara untuk KPU dan Bawaslu hingga aparat keamanan. Dan ini belum termasuk biaya pilkada yang dikeluarkan oleh calon yang mengikuti pilkada se Indonesia.

Mahalnya ongkos pilkada langsung menyebabkan ratusan kepala daerah terpilih terlibat kasus korupsi. Dari tahun 2004 hingga 2024, terdapat lebih dari 600 kasus korupsi di tingkat kabupaten/kota, dengan 167 bupati/wali kota yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini menunjukkan adanya masalah dalam demokrasi dan pilkada kita.

Namun, kembali ke pilkada melalui DPRD artinya kita kembali ke pilkada masa lalu yang pernah kita lalui. Hanya saja cakupan keterlibatan klientelisme hanya cakupan beberapa orang anggota DPRD itupun jika terjadi money politics tak melibatkan rakyat secara langsung. Tidak terjadi pembelahan sosial di tengah masyarakat seperti dalam kasus pilkada langsung.

Politik elektoral Indonesia hari ini mengutamakan popularitas yang bisa diciptakan dari kekuatan uang daripada kualitas calon yang dibentuk dari pendidikan berkualitas, integritas tinggi dan kompetensi tinggi.

Tak heran tokoh pendiri bangsa mulai dari Hatta dan Sukarno menyiapkan demokrasi Indonesia belum saatnya model barat 50 plus 1 ketika mayoritas rakyat Indonesia masih banyak yang tidak berpendidikan tinggi.

Bahkan Hatta menolak demokrasi yang mengutamakan individualisme, karena dalam perkembangan masyarakat kemudian, kaum bermodal adalah pihak yang paling cepat bisa memanfaatkan demokrasi seperti ini. Dan kaum pemodal, kapitalis, bisa tumbuh apabila tidak ada kekuatan pengimbang terhadap dirinya.

Baca juga: Meminimalisir Kerusakan Pilkada di Tanah Air

Apakah kita akan kembali ke demokrasi perwakilan melalui DPRD untuk memilih kepala daerah atau tetap demokrasi langsung? Maka pertanyaan ini akan menjadu diskursus yang menarik dikemudian hari. Kedua model pemilihan tersebut baik langsung dan tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun kita harus memilih mana model yang lebih baik untuk demokrasi Indonesia. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News

Exit mobile version