Presiden Ukraina Zelensky Bakal Dikudeta Militernya, Dipicu Kegagalan Melawan Rusia

Presiden Ukraina, Ukraina, Volodymyr Zelensky saat duduk di cockpit jet tempur F-16 milik Denmark yang rencananya akan disumbangkan negara itu untuk melawan Rusia. (Foto:Doc/President.gov.ua)

JAKARTA – Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terancam dikudeta oleh pasukan militernya sendiri, menyusul kegagalan di medan perang melawan Rusia.

Pernyataan itu diungkapkan salah satu mantan analisis Central Intelligence Agency (CIA), Larry Johnson dalam sesi wawancara dengan Channel Redacted.

“Zelensky kemungkinan besar akan dikudeta dalam tiga hingga empat minggu ke depan, karena ketidakpuasan yang besar di antara pasukan di front timur,” kata Johnson kepada Clayton Morris, pembawa acara channel Redacted.

Namun Larry Johnson bukan lah orang pertama kali yang menganalisis hal itu, dan sebelumnya juga diungkapkan mantan perwira Marinir Amerika Serikat (AS), Scott Ritter.

Scott Ritter sebelumnya menyampaikan, kemungkinan akan terjadi kudeta militer semakin besar. Seiring dengan hancurnya setiap brigade Ukraina di medan perang saat ini.

“Kita mungkin mencapai momen Kerensky tahun 1917, ketika militer hanya mengatakan ‘Kita sudah selesai’,” kata Ritter kepada pembawa acara channel MOATS, George Galloway.

Ritter juga mengungkit artikel Politico baru-baru ini, yang menjelaskan siapa yang akan memerintah Ukraina jika Rusia membunuh Zelensky.

Namun menurut Ritter, Moskow tidak berniat mengejar Zelensky, lantaran dia mungkin akan digantikan oleh seseorang yang lebih garis keras.

Baca juga: Surabaya dan Banyuwangi Jadi Lokasi Latihan Super Garuda Shield 2023

Sementara Rusia mengeklaim, bahwa serangan besar Ukraina di Zaporizhzhia, yang diluncurkan pada awal Juni dengan pasukan didikan Barat dan tank serta kendaraan lapis baja yang disuplai NATO gagal mencapai terobosan di front mana pun.

Kepada Redacted, Johnson mengatakan, dari perkembangan konflik, kelangsungan hidup Ukraina sebagai sebuah negara ‘sangat diragukan’.

Kyiv, lanjut Johnson, sudah sepenuhnya bergantung pada Barat dan kebutuhannya akan terus bertambah sementara kemampuannya akan terus menyusut.

Menurut Johnson, strategi AS dalam konflik ini adalah menjebak Rusia dalam perang yang tidak dapat dimenangkan dan mendorong pergantian rezim di Moskow.

“Sebaliknya, hal ini akan terjadi pada Ukraina, dan Washington harus mencari cara untuk mundur dari konflik tersebut, karena mereka terlalu meremehkan kekuatan ekonomi dan militer Rusia,” paparnya, yang dikutip Russia Today, Rabu (30/8/2023).

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov beralasan serupa pada awal bulan ini dengan mengatakan, dalam sebuah wawancara bahwa negara-negara Barat yang mendukung Ukraina secara terbuka berkomitmen untuk ‘berjuang sampai orang Ukraina terakhir’.

Namun memiliki sejarah meninggalkan sekutu dan proksi mereka, mulai dari Vietnam Selatan hingga ‘kerajaan Ashraf Ghani’ dan rezim di Afghanistan pada tahun 2021.