JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika kini menjadi sorotan. Pasalnya, pelemahan rupiah mulai mendekati angka pada era krisis 1998.
Dilansir kabarbursacom, Kepala Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyebut situasi ini sebagai “Alarm Siaga 1”.
Posisi USD/IDR saat ini sudah menyentuh area resistance penting di sekitar Rp16.640. Jika terus bergera, bisa encapai level Rp16.950 yang merupakan level krisis moneter 1998.
“Rupiah terperosok sampai ke level terendah era COVID di mana saat itu menyentuh Rp16.640 per dolar. Bisa dibilang sudah tak jauh dari level krisis 1998 di bilangan Rp16.950. Sewajarnya ini menyalakan ALARM SIAGA 1!,” kata Liza, Rabu, 26 Maret 2025.
Yang bikin ngeri, pelemahan ini terjadi di saat indeks dolar global (DXY) belum tinggi-tinggi amat. Artinya, bukan karena dolar terlalu kuat, tetapi karena memang ada yang salah dengan fundamental Rupiah sendiri. Menurut Liza, ini jadi wake-up call buat publik bahwa pelemahan kurs bukan sekadar efek eksternal.
Dari sisi teknikal, ia melihat potensi pelemahan dolar ke depan berkat pola RSI negative divergence dan munculnya candle doji di grafik bulanan USD/IDR. RSI negative divergence berarti ada ketidaksesuaian antara arah grafik harga dengan indikator kekuatan pasar.
Dalam hal ini, meskipun nilai tukar USD/IDR terus naik (Rupiah makin melemah), tapi indikator RSI-nya justru tak ikut menguat. Ini sering dibaca sebagai sinyal awal kelelahan tren atau potensi pembalikan arah. Artinya, dolar mungkin udah “kehabisan tenaga” dan sebentar lagi bisa berbalik melemah terhadap Rupiah.
Sementara itu, candle doji adalah bentuk candlestick yang menandakan ketidakpastian di pasar. Harga buka dan tutupnya hampir sama alias menunjukkan adanya tarik-menarik yang seimbang antara pembeli dan penjual. Jika doji ini muncul di ujung tren naik, sering kali dianggap sinyal bakal ada perubahan arah pasar—dalam hal ini, bisa jadi dolar bakal koreksi dan Rupiah punya peluang buat rebound tipis.
Tapi masalahnya, apa sentimen kuat yang bisa bikin dolar melemah?
Salah satu harapan ada di data PCE Price Index AS yang akan keluar Jumat pekan ini. Jika data inflasi AS melemah, pasar bisa mulai memproyeksikan kebijakan dovish dari The Fed dan dolar global bisa tertekan.
Namun, Liza tetap mengingatkan semua ini bisa buyar jika faktor geopolitik dan kebijakan tarif Trump makin menggila. Karena itu, menurut dia, investor harus siap dengan strategi mitigasi dan tetap disiplin pada trading plan masing-masing.
“So, don’t ever forget that market is always right! We, as investor/traders (Jadi, jangan pernah lupa bahwa pasar selalu benar! Kita sebagai investor atau trader) hanya bisa lakukan usaha mitigasi dalam trading plan yang dilaksanakan dengan disiplin,” katanya.
JP Morgan Prediksi Penguatan Dolar Berlanjut di 2025
Sepanjang 2024, indeks dolar (DXY) mencatat kenaikan hingga 7 persen, meskipun The Fed sudah memangkas suku bunga dua kali. Indeks nilai tukar riil efektif AS (REER) yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama dengan penyesuaian inflasi, masih bertahan di level tertinggi sepanjang masa.
Setelah tekanan eksternal terus membebani rupiah, proyeksi terbaru dari JP Morgan menegaskan bahwa dolar AS kemungkinan masih akan tetap kuat atau setidaknya stabil sepanjang 2025.
JP Morgan mencatat tiga faktor utama yang membuat dolar AS tetap kokoh, bahkan ketika bank sentral lain mulai melonggarkan kebijakan moneter mereka:
1. Pertumbuhan ekonomi AS lebih unggul
Ekonomi AS tumbuh 2,7 persen pada 2024, jauh di atas rata-rata pertumbuhan negara maju lainnya yang hanya 1,7 persen. Keunggulan ini didorong oleh produktivitas yang lebih tinggi, peningkatan investasi bisnis, dan lebih sedikit gangguan di pasar tenaga kerja dibandingkan ekonomi lain. Dengan pertumbuhan yang tetap kuat dan inflasi masih bertahan di atas 2 persen, The Fed mungkin akan menahan diri dari pemangkasan suku bunga lebih lanjut, membuat pelemahan dolar dalam waktu dekat menjadi tidak mungkin.
2. Kebijakan moneter yang semakin berbeda
Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan kesenjangan kebijakan moneter antara AS dan negara-negara lain. Saat ini, selisih imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dengan obligasi negara mitra dagangnya mencapai level tertinggi sejak 1994.
Pasar hanya memperkirakan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 44 basis poin pada 2025, sementara European Central Bank (ECB) diproyeksikan memangkas 110 basis poin dan Bank of Japan (BoJ) justru diprediksi akan menaikkan suku bunga 47 basis poin.
3. Perubahan kebijakan pemerintahan baru
Pemerintahan Trump diperkirakan bakal semakin mendorong pertumbuhan sektor manufaktur domestik, menaikkan tarif impor, dan melakukan deregulasi industri. Kebijakan ini bisa meningkatkan investasi bisnis serta mempertahankan suku bunga lebih tinggi yang pada akhirnya menopang dolar.
Selain itu, Trump juga telah mengisyaratkan potensi penerapan tarif tambahan atau kebijakan lain terhadap negara-negara yang berupaya menantang dominasi dolar dalam perdagangan global dan sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Jadi, apakah Dolar AS bisa melemah?
Meskipun berbagai faktor mendukung penguatan dolar, JP Morgan menilai kenaikan ini tidak akan berlangsung selamanya. Saat ini, nilai tukar dolar sudah dua standar deviasi di atas rata-rata 50 tahunnya yang artinya ruang kenaikan lebih lanjut semakin terbatas. Secara historis, pergerakan dolar selalu bergantian antara fase penguatan dan pelemahan sehingga koreksi bisa terjadi kapan saja, meskipun waktunya masih sulit diprediksi.
Selain itu, defisit neraca perdagangan AS yang mencapai 4,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per September 2024 menjadi tantangan struktural yang dapat menekan dolar dalam jangka panjang. Defisit ini menunjukkan AS mengimpor lebih banyak barang dan jasa dibandingkan yang diekspor yang pada akhirnya bisa melemahkan mata uangnya.(*)