Sejarah dan Profil Kepala BP Batam dari Tahun 1971 Hingga Saat ini

Kantor BP Batam.
Kantor BP Batam. (Foto: BP Batam)

BATAM – Pulau Batam memiliki posisi geografis strategis di Selat Malaka, salah satu jalur perdagangan internasional tersibuk. Terletak 20 km dari Singapura, dengan akses mudah ke negara lain di seluruh dunia.

Awalnya, Batam adalah pulau kecil, namun Presiden BJ Habibie mengusulkan konsep Barelang (Batam Rempang Galang) dengan 6 jembatan untuk memperluas wilayahnya menjadi 715 km2, lebih besar dari Singapura. Hal ini bertujuan untuk membuat Batam berdikari dan bersaing dengan Singapura.

Presiden Soeharto juga berperan penting dalam pembangunan Batam. Meskipun fokus pembangunan ekonomi pada pertanian, Soeharto juga memberi perhatian pada industri.

Ia menetapkan Batam sebagai bagian dari Provinsi Riau, dan selama masa pemerintahannya, memantau perkembangan pembangunan Batam dengan cermat. Dulu, Batam hanyalah sebuah desa kecil di Kecamatan Pulau Buluh, namun sekarang telah menjadi “kota industri” yang menarik.

Pada tahun 1960, ibukota Provinsi Riau pindah ke Pekanbaru dan Tanjung Pinang menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Pulau Batam awalnya hanya sebuah desa kecil di Kecamatan Pulau Buluh, Belakang Padang pada tahun 1965.

Pada saat itu, Batam tidak memiliki fasilitas dan infrastruktur seperti sekarang. Kini, penduduknya hampir mencapai 1.3 juta jiwa, dari sekitar 6.000 jiwa di masa lalu ketika Batam hanyalah rawa-rawa belukar di tepi pantai.

Berikut Periodisasi Pembangunan Batam

1. Ibnu Sutowo (1971—1976), Periode Persiapan

Ibnu Sutowo adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam sejarah Pertamina dan pembangunan Pulau Batam. Pada era Presiden Soeharto, ia memegang berbagai jabatan kunci termasuk Direktur Utama Pertamina, Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi, dan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.

Pada masa itu, Pulau Batam adalah hutan belantara dengan sedikit aktivitas, dihuni oleh sekitar 6.000 penduduk kebanyakan nelayan. Namun, Ibnu Sutowo memimpin transformasi Batam menjadi pusat industri dan aktivitas alih kapal dengan visi dan dedikasinya. Ia juga menjadikan Batam sebagai Basis Logistik Pertamina.

Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 tahun 1973 yang menetapkan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pertumbuhan industri di pulau itu. Otorita ini memiliki wewenang dalam penggunaan tanah untuk memajukan Batam sebagai kawasan industri.

Peran Ibnu Sutowo sangat penting dalam tahap persiapan:

  1. Pada 26 Oktober 1971, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 74 tentang Pengembangan Pulau Batam menjadi Daerah Industri, yang menjadi awal terbentuknya Otorita Batam. Setiap tahun, tanggal ini dirayakan sebagai hari ulang tahun Otorita Batam.
  2. Pada tahun 1972, Master Plan BP Batam merencanakan konsep Kawasan Perdagangan Bebas.
  3. Infrastruktur pelabuhan termasuk bandara (850 m) dan pelabuhan laut di Sekupang (140 M) dan Batu Ampar (1 KM) sudah ditetapkan.
  4. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Pulau Batam membangun waduk pertama, Waduk Sei Harapan, pada tahun 1969.
  5. Pembangunan sumber kelistrikan dimulai dengan pembangunan pembangkit listrik di Sekupang dan Batu Ampar oleh Pertamina.

Selain itu, Ibnu Sutowo memulai proyek pembangunan bandara di Pulau Batam pada tahun 1974, yang awalnya direncanakan di Tanjung Uncang namun akhirnya dipindahkan ke Batu Besar untuk memenuhi persyaratan penerbangan internasional. Ia juga memimpin pembangunan jalan dari Sekupang ke Batu Besar untuk memudahkan transportasi di pulau ini. Dengan upaya dan visi Ibnu Sutowo, Pulau Batam mengalami perkembangan yang signifikan dalam industri dan infrastruktur.

2. J.B. Sumarlin (1976-1978), Periode Konsolidasi

Pada saat Pertamina mengalami krisis, J.B. Sumarlin yang menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Wakil Ketua Bappenas, dan Ketua Opstib, diberi mandat oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Ketua Otorita Batam kedua. Perannya sangat signifikan dalam transformasi Batam menjadi Kawasan Berikat Bonded Warehouse dan memberikan kewenangan Pengelolaan Pelabuhan kepada Otorita Batam.

Di bawah kepemimpinan J.B. Sumarlin, pembangunan waduk kedua dimulai pada tahun 1975, yaitu Waduk Sei Baloi oleh kontraktor PT Kurnia Dwi Putera dan mulai beroperasi pada tahun 1978. Selanjutnya, Waduk Nongsa juga dibangun pada tahun 1975 oleh kontraktor Jepang dan beroperasi pada tahun 1980.

Seiring dengan implementasi pembangunan Batam berdasarkan Master Plan 1972, yang diperkuat dengan penetapan Batam sebagai daerah industri melalui Keppres Nomor 41 Tahun 1973, minat dari perusahaan asing (investor) untuk menanamkan modalnya di Batam semakin meningkat. Pada saat itu, terdapat 9 perusahaan yang telah menginvestasikan modal mereka, dan 9 perusahaan lainnya juga menunjukkan minat untuk berinvestasi di Batam.

Peran JB Sumarlin dalam periode konsolidasi adalah:

Mengidentifikasi hambatan-hambatan dan menentukan apakah proyek Batam dapat dilanjutkan atau tidak. Keputusan diambil untuk melanjutkan pembangunan Batam dengan menggunakan APBN, menggantikan anggaran yang sebelumnya berasal dari Pertamina.
Dalam periode ini, wewenang pengelolaan Pelabuhan Laut di Pulau Batam dialihkan dari Departemen Perhubungan RI kepada Otorita Batam.

3. B.J. Habibie (1978—1998), Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal

Presiden Soeharto menugasi B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi pada saat itu, untuk memimpin Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam pada tahun 1978. Di bawah kepemimpinan Habibie, Batam berkembang pesat dari sekadar basis logistik Pertamina menjadi proyek nasional. Fokus pada industri berbasis teknologi tinggi, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.

Habibie berhasil menggalang investasi luar negeri, membangun infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk menarik investor. Ia juga memimpin pembentukan Pemerintahan Kota Administratif Batam untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Pemilihan Habibie oleh Presiden Soeharto menandai fokus besar pemerintah pada pembangunan Batam sebagai pusat industri canggih, membebaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap Malaysia dan Singapura.

Habibie juga memperkenalkan teori pengembangan, seperti Teori Sijori (Singapura, Johor, Riau) dan Teori Balon. Ia mendirikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan memanfaatkan penerimaan Uang Wajib Tahunan Otorita Batam untuk pengembangan infrastruktur dasar.

Penambahan wilayah kerja Otorita Batam ke Pulau Rempang dan Galang serta pembangunan jembatan Barelang adalah strategi Habibie mengantisipasi keterbatasan lahan di Batam.

Dalam aspek sosial, Habibie memprioritaskan penduduk dengan keahlian teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri di Batam. Ia juga merencanakan pembangunan Bandara Hang Nadim untuk melayani transportasi udara.

Pembangunan Jembatan Barelang, yang terdiri dari enam jembatan yang menghubungkan pulau-pulau di sekitar Batam, menjadi simbol progresif dalam transformasi Batam menjadi pusat industri yang kompetitif.

4. J.E. Habibie (adik B.J. Habibie) (Maret 1998 – Juli 1998), Periode Lanjutan

B.J. Habibie melepas jabatannya sebagai ketua Otorita Batam saat dipilih oleh MPR RI menjadi Wakil Presiden ke-7 RI. Namun, tidak lama J.E. Habibie menjabat. Ia mengundurkan diri karena B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden ke-3 RI. Pengunduran dirinya tidak lain untuk melindungi sang kakak agar bersih dari isu KKN.

Meski sebentar, Ia tetap menorehkan prestasi dengn pemberantasan KKN, reformasi tambang pasir laut, wacana pemindahan kantor utama Otorita Batam dari Jakarta ke Batam hingga restrukturisasi organisasi.

5. Ismeth Abdullah (1998—2005), Periode Pengembangan Prasarana dan Sarana dan Penanaman Modal Lanjutan dengan Perhatian Lebih Besar pada Kesejahteraan Rakyat dan Perbaikan Iklim Investasi

Tantangan yang dihadapinya pada era ini adalah Otonomi Daerah, yang melahirkan Pemerintah Kota Batam dalam kawasan perdangan bebas dan pelabuhan bebas Batam (UU 53 1999). Berkat usulannya untuk tetap mengikutsertakan keberadaan Otorita Batam dalam penyelenggaraan pemerintah. Maka dalam pasal UU tersebut, juga diamanatkan bahwa hubungan kerja Pemerintah Kota dan Otorita Batam lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum terealisasi. Masa kepimpinannya mengedepankan pembangunan fasilitas urban, berupa fasilitas peribatan, olah raga, pemukiman, fasilitas pemerintah, dan fasilitas umum.

Prioritas Pembangunan dan Orientasi Kepemimpinan:

Pengembangan Investasi Batam Pembinaan Koperasi dan UKM Penerapan Impor Mobil dengan Sistem One In One Out Upaya Pembentukan Batam FTZ Komitmen Kesejahteraan Rakyat Pembanguan Fasilitas Sosial Pengembangan Batam Intelligent Island

6. Mustofa Widjaja (2005—2016), Periode Pengembangan Batam

Keberhasilannya adalah mendapatkan status kelembagaan Otorita Batam yang jelas dengan terbitnya UU Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Serta peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2011. Dalam hiruk pikuknya perubahan Otorita Batam menjadi BP Batam, Mustofa Widjaja berhasil meyakinkan publik dan masyarakat bahwa keberadaan BP Batam masih sangat penting dan amat diperlukan.

Prioritas Pembangunan dan Orientasi kepemimpinan:

Peresmian FTZ Dengan terbitnya UU 44/2007 Terbentuknya Dewan Kawasan Perubahan Otorita Batam menjadi Badan Pengusahaan Batam (PP 46/2007 diubah menjadi PP 5/2011)

BP Batam menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dapat mencari dan mengelola anggaran sendiri (PP 6/2011) Mewujudkan E-Government Perpusatakaan khusus BP Batam Pemetaan jalan pembangunan Batam 2011—2015 Upaya Batam sebagai Transhipment

7. Hatanto Reksodipoetro (2016—2017), Periode Peningkatan Kinerja Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Hatanto Reksodipoetro yang mendapatkan tongkat estafet, dengan semangat perubahan, melakukan revitalisasi dengan sejumlah sistem yang sebelumnya dilakukan secara manual, tatap muka, dengan potensi menimbulkan moral hazard. Ia mengubah seluruh sistem ini menjadi sistem online. Ia juga optimis dengan sejumlah terobosan yang dilakukan BP Batam dan improvisasi sistem dari manual menjadi online di seluruh layanan yang dimanfaatkan oleh investor; seperti i23J dan KILK yang secara nyata masih menjadi primadona bagi investor, di samping fasilitas dan layanan lainnya, seperti Host to Host Sistem Perijinan Online Pelabuhan dan aplikasi Geographical Information System (GIS) untuk manajemen lahan dengan pemetaan menggunakan drone, seperti di Singapura.

8. Lukita Dinarsyah Tuwo (2017—2018), Periode Reformasi dan Peningkatan Kinerja BP Batam

Di bawah kepemimpinan Lukita Dinarsyah Tuwo, BP Batam telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pelayanan yang bermutu, transparansi, dan sikap rendah hati. Program prioritas yang difokuskan pada peningkatan investasi, pariwisata, industri, dan ekonomi digital, serta pengembangan pusat logistik, telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Batam. Setelah sempat mengalami penurunan pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,51% pada Triwulan II 2018.

Dalam waktu singkat di bawah kepemimpinan Lukita Dinarsyah Tuwo, BP Batam berhasil menduduki peringkat kedua secara nasional. Dalam kategori Keterbukaan Informasi Publik dari Komisi Informasi Pusat pada Desember 2017. Upaya untuk meningkatkan pariwisata mancanegara termasuk penyelenggaraan berbagai acara seperti Barelang Marathon 2017, BP Batam International Culture Carnival 2017, dan kegiatan Car Free Day dan Car Free Night pada akhir tahun 2017.

Pada Januari 2018, bersama dengan seluruh SKPD dan pemangku kepentingan, Kepala BP Batam memaparkan capaian 100 hari kerja BP Batam, dengan mengumumkan program kerja “Batam Bersatu Maju 2 Tahun 7% Pertumbuhan Ekonomi (BBM27)”. BP Batam juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti upaya membangun kawasan Kampung Tua Tanjung Uma dengan kegiatan Pencanangan dan Pengecatan Pertama Tanjung Uma Berpelangi.

BP Batam telah meraih berbagai penghargaan yang membanggakan, termasuk Sertifikasi ISO 9001:2015 untuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam dan penghargaan Video Profil Terbaik untuk lembaga non struktural di Public Relations Indonesia Awards. Selain itu, PTSP BP Batam mendapat penghargaan opini penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk kedua kalinya dari BPK RI.

9. Edy Putra Irawady (2019), Periode Transisi Reformasi dan Peningkatan Kinerja BP Batam

Edy Putra Irawady telah diangkat sebagai Kepala BP Batam selama Periode Transisi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Tugas utamanya adalah menyatukan proses bisnis di PTSP, menganalisis peran Kepala BP Batam di masa mendatang. Serta menjabat sebagai Wali Kota, dan melaporkan perkembangan investasi di Kota Batam.

Untuk mencapai tujuannya, Edy telah memperbarui sistem perizinan usaha terpadu, Online Single Submission (OSS). Kemudian sekarang dikenal sebagai Indonesia Batam Online Single Submission (IBOSS). Sinkronisasi layanan perizinan ini melibatkan PTSP BP Batam, DPMPTSP Pemko Batam, dan instansi terkait lainnya.

Selain itu, Edy juga memperkuat tim pelayanan perizinan investasi dengan membentuk Klinik Berusaha, yang memberikan konsultasi dan menangani kasus investasi. Ia juga mendirikan Garda Pengawal Investasi dan Blink, unit layanan investasi bergerak.

Dibawah kepemimpinan Edy Putra Irawady, BP Batam berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan perizinan. Dengan sistem OSS melalui dukungan Dewan Kawasan dan BKPM. Hal ini bertujuan untuk mempercepat investasi di Kota Batam. Pada semester pertama tahun 2019, investasi PMA di Kota Batam meningkat sebesar 53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Rencana percepatan investasi di Kota Batam untuk tahun tersebut mencapai 73%, jauh di atas rata-rata investasi nasional selama 5 tahun terakhir yang hanya mencapai 32%.

10. Muhammad Rudi (2019 – Sekarang)

Muhammad Rudi adalah Wali Kota Batam yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam sejak September 2019. Di bawah kepemimpinannya, BP Batam berfokus pada kemudahan perizinan dan peningkatan investasi di Kota Batam. Termasuk dengan memotong birokrasi yang berbelit-belit. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus seperti KEK Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) dan KEK Digital di Nongsa Digital Park juga merupakan bagian dari tugasnya. Infrastruktur seperti Bandara dan Pelabuhan menjadi fokus utama dalam kepemimpinannya. Selain itu, Muhammad Rudi berusaha untuk memaksimalkan pendapatan dari aset BP Batam. Dengan membentuk empat Badan Usaha, dengan harapan meningkatkan fokus BP Batam dalam mengembangkan infrastruktur dan memberikan kemudahan bagi masyarakat Kota Batam.*** (Sumber : BP Batam)