Simak, Fatwa MUI Tentang Hukum Vaksinasi COVID-19 saat Puasa

Tim Mobil Gurindam 12 Korem 033/WP dan Kodim 0315/Bintan Gencarkan Vaksinasi
Tim Mobil Gurindam 12 Korem 033/WP saat menggelar vaksinasi door to door di Kampung Bugis, Tanjungpinang (Foto: Penrem 033/WP)

TANJUNGPINANG – Bulan Ramadan tahun ini masih dalam kondisi pandemi COVID-19. Pemerintah juga semakin gencar melaksanakan vaksinasi COVID-19 khususnya dosis tambahan atau booster. Namun, bagaimana hukum vaksinasi bagi umat muslim saat dalam kondisi puasa?.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun lalu telah mengeluarkan fatwa Nomor: 13 Tahun 2021 tentang hukum vaksinasi COVID-19 di saat berpuasa yang dikeluarkan pada 16 Maret 2021.

Fatwa tersebut menyatakan bahwa vaksinasi COVID-19 tidak membatalkan puasa dan boleh dilakukan bagi umat Islam yang sedang berpuasa.

Fatwa ini menjelaskan bahwa vaksinasi COVID-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa.

Baca juga: Vaksinasi Booster, Binda Kepri dan Dinkes Batam Sasar ke Pusat Perbelanjaan

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa melakukan vaksinasi COVID-19 bagi umat Islam yang berpuasa dengan injeksi intramuscular hukumnya boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).

Berdasarkan fatwa tersebut, yang dimaksud dengan vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.

Sementara injeksi muskular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin melalui otot.

Baca juga:  Kepala BNPB Minta Masyarakat Segera Melaksanakan Vaksin Booster

Fatwa terkait hukum vaksinasi selama berpuasa ini sudah dikaji berdasarkan pertimbangan matang. Vaksinasi intramuscular dianggap tidak membatalkan puasa karena tidak masuk lewat rongga badan yang terbuka dan vaksin tidak dianggap sebagai makanan atau minuman. Ini sesuai dengan pendapat para ulama berikut:

– Pendapat Ibnu al-Hammam al-Hanafi dalam kitab Fathu al-Qadir (2/330) bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang lazim, seperti mulut, kubul, dan dubur.

(Ungkapan “Dan jika memakai celak maka tidak membatalkan puasa”) baik tenggorokannya dapat merasakan suatu makanan atau tidak, karena zat yang berada di tenggorokan adalah sisasisa yang masuk lewat pori-pori. Sedangkan yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang terbuka seperti jalan masuk ke tubuh atau jalur keluar darinya, dan bukan dari pori-pori.

– Ungkapan al-Rafi’i yang dinukil oleh al-Nawawi dalam kitab alMajmu’ (6/313) bahwa yang sesuatu yang masuk ke perut dan membatalkan puasa itu dengan syarat masuknya lewat rongga yang terbuka, dengan sengaja, dan dalam keadaan tidak lupa.

Imam Rafi’i berkata: ulama-ulama Syafiiyah memberikan batasan (dhabit) bahwa sesuatu yang masuk ke perut yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk dari luar lewat rongga yang terbuka dengan kesengajaan dan dalam keadaan tidak lupa sedang berpuasa.

– Pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (3/165) bahwa jika sesuatu yang sampai pada perut itu terasa bermanfaat sebagai nutrisi bagi badan (makanan atau minuman), maka itu membatalkan puasa.