Tanjungpinang Gamang Tangani COVID-19

Wali Kota Tanjungpinang Rahma (Foto: Engesti)

Tanjungpinang –  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Jumat (09/07), menetapkan Tanjungpinang dan Kota Batam sebagai daerah yang harus menetapkan PPKM Darurat. Sebuah instruksi yang membuat Wali Kota Tanjungpinang harus menelan pil pahit. Usaha yang dilakukan selama ini tidak membuat kota ini mampu menangani pandemi COVID-19. Hal ini membuat semua masyarakat Kepri terkejut, tak percaya, atas kondisi darurat yang mengancam kehidupan mereka.

Sebegitu parahkan kondisi Kota Batam dan Tanjungpinang sehingga pusat menetapkan PPKM Darurat? Jawabannya jelas, ancaman COVID-19 di Kepri sudah mengancam kehidupan masyarakat.

Menteri Airlangga Hartarto tidak sembarang menetapkan keputusan. Melalui data yang ada sebagai parameter status PPKM Darurat, tak mungkin bisa disanggah oleh pimpinan daerah di Kepri. Setumpuk catatan minus penanganan COVID-19 di Tanjungpinang dan Batam, menjadi alasan kuat kenapa PPKM Darurat harus diberlakukan.

Seperti level assemen yang sudah level 4, tingkat keterisian kamar rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) di atas 60 persen, hingga grafik laju kenaikan kasus yang sangat tinggi. Capaian vaksinasi yang dianggap rendah karena di bawah 50 persen, juga menjadi alasan tersendiri, kenapa Batam dan Tanjungpinang akhirnya ditetapkan sebagai daerah yang harus menerapkan PPKM Darurat, seperti di daerah Jawa dan Bali.

Sebelum ditetapkan PPKM Darurat, berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah daerah. Namun upaya penanganan COVID-19 hasilnya berbanding terbalik dengan laju kenaikan kasus COVID-19 yang terus melonjak. Padahal Pemerintah daerah selama ini selalu berbicara lantang, mengembar-gemborkan bahwa mereka mati-matian berusaha membebaskan masyarakat Kepri dari serangan COVID-19?

Lihat saja berbagai jurus Wali Kota Tanjungpinang, Rahma, dalam menegakkan protokol kesehatan di masyarakat. Berbagai surat edaran dan juga kebijakan unik sekaligus langka, telah disuarakan atas nama ‘menyelamatkan masyarakat’ dari pembunuh bernama virus COVID-19. Mulai dari pembubaran kerumunan di restoran, razia sweb antigen di pasar tradisional, pengggembokan bagi kendaraan pelaku kerumunan, hingga ancaman penyiraman bagi mereka yang melanggar surat edaran walikota bagi pelanggar prokes.

Tetapi hingga Sabtu (10/07) malam, laporan lapangan wartawan ulasan.co di Kota Tanjungpinang mendapati seluruh upaya dan seruan yang dilakukan oleh Pemerinath Kota Tanjungpinang selama ini tidak digubris oleh masyarakat. Restoran masih ramai, tak sedikit kedai kopi yang penuh dengan anak muda asik nongkrong. Lebih parah lagi, tempat hiburan malam (THM) yang sejak lama menjadi sorotan publik, masih tetap buka.

Bagaimana menjelaskan situasi paradoksal yang terjadi di Kota Tanjungpinang ini? Bagaimana caranya agar masyarakat mengikuti surat edaran walikota, sehingga sinergi antara pemerintah dan masyarakat mampu meredam, atau setidaknya menahan, lonjakan kasus COVID-19 dan meningkatkan ekonomi masyarakat.

Ekonomi Masyarakat Mulai Merosot

Melihat kondisi ekonomi masyarakat kota Tanjungpinang disaat pandemi, pengamat sosial dan ekonomi Tanjungpinang, Rachmad Chartady pada Sabtu (03/07), memiliki penilaian sendiri. Menurutnya, ketidakpatuhan pelaku usaha dan masyarakat mentaati kebijakan Walikota Rahma terkait penegakan penanggulanagn COVID-19, karena walikota tidak paham bagaimana komunikasi seorang pemimpin dengan rakyatnya.

“Kita harus memberikan pandangan kepada masyarakat melalui pendekatan persuasif. Kalau tiba-tiba razia, marah-marah dan mengancam, ya tak jalan kebijakan itu. Bukannya mematuhi, masyarakat pasti antipati. Lebih antipati lagi, kalau para pemimpin tidak memberikan contoh, atau justru melanggar aturan yang dibuat sendiri,” tutur Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pembangunan itu.

Artinya, tandas Rachmad, kebijakan yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang tidak efektif. Ia menilai kebijakan seperti rencana penyiraman, pembatasan jam malam, tes antigen, hingga ancaman penggembokan kendaraan tidak memberikan edukasi protokol kesehatan bagi masyarakat.

“Idealnya, dalam penanganan COVID, kita membicarakan protokol kesehatan tanpa mengabaikan pemulihan ekonomi masyarakat. Tapi kalau tiba-tiba razia, marah-marah kepada setiap pedagang dan pemilik restoran, yang itu namanya malah menghancurkan ekonomi masyarakat,” jelas Rachmad.

Apabila kebijakan tersebut terus diterapkan, maka perekonomian di Tanjungpinang dipastikan terus menurun. Masyarakat yang sudah terancam karena COVID-19, semakin hancur perekonomiannya.

“Ya, untuk Pemko Tanjungpinang, ajak dong ngopi para pengelola warung kopi, pedagang pasar dan lainnya. Kalau persuasif, pasti jalan aturan yang diterapkan itu. Harus ada diskusi dan komitmen bersama, sehingga ekonomi masyarakat tidak semakin semakin melemah,” ucap Rachmad.

Argumentasi Rachmad diamini oleh pelaku usaha di Tanjungpinang. Salah satunya, Saleh, pemilik restoran di Kota Tanjungpinang. Saleh menyebut, kebijakan yang diterapkan Pemko Tanjungpinang saat ini sangat memberatkan para pengusaha. Ia menilai kebijakan itu berdampak pada penurunan omzet para pengusaha.

“Kebijkannya sangat memberatkan. Dampaknya menurunkan omzet kami. Yang tadinya bisa 100% sekarang hanya 70%,” kata Saleh, Sabtu (03/07).

Seharusnya pemerintah dapat mengajak para pengusaha untuk berdiskusi, karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Walikota Rahma sangat mempengaruhi perekonomian di Tanjungpinang. “Perekonomian akan samakin merosot dan para pengusaha terancam gulung tikar. Iya, kalau modal kita tidak kuat, ya kita tutup sementara. Karena kebijakan pemerintah tidak membantu,” ujarnya.

Wali Kota dan Mantan Wali Kota Beda Pendapat

Sabtu pagi 3 Juli 2021 lalu, jagat media massa di Kota Gurindam 12 heboh dengan berita mantan walikota, Lis Darmansyah, yang marah-marah melihat aksi jajaran Pemkot Tanjungpinang melakukan razia tes antigen di pasar Bintan Center, Tanjungpinang. Manurut Lis, aksi petugas terhadap para pedagang dan pengunjung pasar dianggap tidak manusiawi.

Intinya, Lis Darmansyah tidak terima dan menilai petugas menganggap masyarakat sebagai maling, sehingga harus dikejar-kejar di tengah pasar. “Programnya kita dukung, cuma caranya jangan seperti ngejar maling. Kesannya kayak mengejar maling,” kata Lis di Pasar Bincen, saat itu.

Ia menyatakan, seharusnya penegakan prokes yang dilakukan harus lebih elegan. Masyarakat harus dianggap sebagai pihak yang harus berpartisipasi dalam mengurangi laju kasus COVID-19. “Saya yakin masyarakat tidak ada yang menolak itu, masa urusan corona kaya perang massal saja,” kata Lis.

Rupanya kritik Lis Darmansah atas aksi razia tes antigen petugas Pemko Tanjungpinang di Pasar Bincen tersebut dianggap sebagai isu politik oleh Walikota Rahma. Meski tak menyebut nama, namun Rahma menilai apa yang dilakukan oleh ‘orang yang marah-marah” tersebut sebagai aksi untuk mencari panggung politik.

“Saya menyayangkan sikap orang yang protes dan marah-marah itu. Apalagi protes itu dilakukan oleh orang yang paham. Jangan cari panggung, saat ini kita semua harus fokus masalah COVID-19,” ungkap Rahma.

Tak terima dianggap mencari panggung politik oleh Walikota Rahma, Lis Darmansyah pun balik menyerang Walikota Rahma bahwa dirinya yang ingin membunuh masyarakat soal protes pelaksanaan tes Antigen di Pasar Bintan Center itu.

Lis menegaskan, bahwa dirinya memprotes soal tindakan arogansi pelaksanaan tes Antigen, bukan mengenai programnya. Menurutnya, tindakan arogansi yang dilakukan itu justru Wali Kota Rahma ingin membunuh perekonomian masyarakat.

“Saya secara spontan, kebetulan berada di pasar sedang belanja. Jadi kalau saya dibilang ingin membunuh, justru Wali Kota Rahma ingin membunuh perekonomian masyarakat,” kata Lis, Sabtu (3/7).

Menurut politikus PDI Perjuangan ini, seharusnya pelaksanaan program tes Antigen yang digelar Pemerintah Kota Tanjungpinang di Pasar Bintan Center itu terkonsep dengan baik dan menyiapkan segala sarana, seperti menyediakan kursi serta tenda yang layak.

“Ini malah tiba-tiba datang langsung tutup pintu pasar, tak ada pemberitahuan, orang kaget semua, ada yang bertaburan lari, karena takut,” tegasnya.

Ia menilai, tindak arogansi petugas terhadap pedagang dan pengunjung pasar itu semacam mau menangkap maling. Alangkah, baiknya lanjutnya, petugas masuk kedalam pasar memberikan imbauan dengan pengeras suara, sehingga masyarakat merasa diayomi.

“Jadi Wali Kota Rahma jangan kaitan kritikan dengan Pilkada, ini saya disebut cari panggung, saya sudah ada panggung, sebagai Wakil Rakyat itu tugas saya, karena saya dipilih masyarakat,” pungkasnya.

Menurut, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, sikap saling serang elit pemerintahan dan politik justru membuktikan bahwa negara telah gagal menjamin kehidupan rakyatnya.

Sebab, kata Asfin, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah berkewajibkan memenuhi pelayanan kesehatan setiap warganya, mulai dari kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari selama masa pandemi.

Sayangnya, pemerintah urung menerapkan mandat UU tersebut dengan berdalih di balik istilah PPKM mikro hingga PPKM darurat. Namun nahasnya, kata Asfin, UU Kekarantinaan Kesehatan justru dipakai pemerintah saat memberikan sanksi kepada warga. Hal yang sangat kontradiktif.

Asfinawati yang juga mewakili Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik mendesak pemerintah untuk meminta maaf atas penanganan pandemi yang begini-begini saja: rumah sakit kelebihan kapasitas, obat-obatan langka dan menjadi mahal, tenaga kesehatan kewalahan menangani pasien, dan masyarakat kesulitan akses fasilitas kesehatan.

“Pemerintah perlu menyudahi komunikasi yang mencitrakan baiknya situasi, dan beralih ke komunikasi risiko yang berempati, akuntabel dan merefleksikan kegawatdaruratan di masyarakat,” ujar Asfin, Senin (05/07).

RSUD Tanjungpinang (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

Penanganan Kesehatan Menjadi Masalah Paling Serius

Pelayanan kesehatan di masa pandemi COVID-19 di Kota Tanjungpinang menjadi persoalan serius yang harus disikapi pemerintah. Saat ini masyarakat Tanjungpinang kesusahan untuk mendapat pelayanan kesehatan atau penangan medis di Rumah Sakit.

Padahal memperoleh pelayan kesehatan merupakan hak setiap warga negara yang diamanahkan dalam Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah wajib hukumnya memberikan pelayanan kesehatan yang layak bagi warganya.

Pengakuan anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Rudy Chua, bisa menjadi gambaran betapa kacaunya penanganan kesehatan yang terjadi di Kota Tanjungpinang ini.

Hampir setiap malam, Rudy Chua mengaku mendapat pengaduan masyarakat yang sulit mendapat pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, yang saat ini mengalami over kapasitas dalam merawat pasien Covid-19.

“Pasien harus berkeliling dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain, mereka tidak tahu mengadu kemana. Masyarakat harus mendapatkan pelayanan kesehatan, apakah itu pasien covid-19 atau non covid-19,” kata Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Rudy Chua kepada Ulasan.co, Minggu (11/07).

Rudy Chua menambhakan, Tanjungpinang saat hanya memiliki tiga rumah sakit, apabila ketiga rumah sakit itu penuh, masyarakat tak tahu kemana harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Menurutnya, apabila rumah sakit di Tanjungpinang tidak bisa memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat lagi, maka bisa dikatakan ada kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan.

“Ini sudah urgent, harus disikapi segera, kita mengerti saat ini semuanya bertaruh menghadapi pandemi. Tapi kita jangan menghilangkan pelayanan dasar ke masyarakat,” tegasnya.

Rudy pun menyarankan, pemerintah perlu segera membentuk call center layanan kesehatan terpadu, sehingga masyarakat dapat mengetahui rumah sakit mana yang mengalami kosong dan siap melayani pasien. “Jadi masyarakat perlu lagi keliling, mereka cukup menghubungi call center itu,” ujarnya.

Hingga Minggu 11 Juli 2021 kemarin, kasus positif COVID-19 di Kota Tanjungpinang tembus di angka 6.070. Dengan adanya penambahan 86 kasus baru, kasus aktif di Kota Tanjungpinang hingga kini mencapai 1.466 orang yakni di rumah sakit terdapat 99 orang, tempat isolasi terpadu Hotel Lohas sebanyak 170 orang dan isolasi mandiri mencapai 1.197 orang.

Kemudian pasien yang sembuh dan selesai menjalani isolasi di Kota Tanjungpinang sebanyak 4.446 kasus. Sedangkan pasien COVID-19 yang meninggal dunia sebanyak 158 kasus.

Sementara itu, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit di Kota Tanjungpinang saat ini mencapai 93,09 persen. Sehingga, Kota Tanjungpinang saat ini berstatus zona merah COVID-19 .

Data ini menunjukkan masih belum maksimalnya kinerja yang dilakukan pemerintah daerah. Mulai dari penerapan 5 M hingga 3 T yang seharusnya dapat menekan angka penyebaran COVID-19 itu sendiri.

 

Mantan Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah. (Foto: Apriadi)

Pemerintah Daerah Dinilai Gagal

Selain gambaran Rudy Chua, penjelasan Lis Darmansyah soal buruknya penanganan COVID-19 juga sayang untuk dilewatkan. Dalam sebuah wawancara dengan media ulasan.co, mantan Walikota Tanjungpinang ini dengan tegas menyatakan pemerintah daerah telah gagal dalam membendung laju penularan COVID-19 di Kepri, khususnya di Batam dan Tanjungpinang.

Bahkan Lis yang kini jadi anggota DPRD Kepri itu juga menyebut, Pemerintah Kota Tanjungpinang tak punya perencanaan yang jelas bagaimana memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

“Selain protokol kesehatan dan vaksinasi yang harus menjangkau masyarakat Kepri, inti dari memutus mata rantai penyebaran COVID-19 itu ya testing, tracing, dan treatment atau yang kita sebut dengan 3 T itu. Coba tanya kepeda kepala daerah di daerah kita ini, berapa persen penduduk Tanjungpinang, yang sudah ditesting, ditracing, dan juga mendapatkan treatment yang layak,” ungkapnya.

“Bagaimana tracing yang dilakukan pemerintah daerah kita terhadap orang yang dinyatakan positif terpapar COVID-19? Apakah penelusuran itu sudah menjangkau 15 orang, yang telak melakukan kontak erat dengan pasien. Coba tanya itu?,” jelasnya lagi.

Bahkan, kata Lis, kalaupun Kota Tanjungpinang mampu memenuhi target vaksinasi massal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat di atas 50 persen, tidak bisa menjamin kasus COVID-19 menurun.

“Karena kalau tracing kita lemah, penularan akan teruys terjadi, berputar-putar dari pasien yang satu, ke pasien baru lainnya lagi. Begitu terus akan terjadi. Karena kita tidak melakukan tracing. Kita harus jujur, ratusan pasien positif COVID-19 di Tangjungpinang ini, bisa jadi belum mendapatkan tracing yang seharusnya,” kata LIs.

Terlepas dari perbedaan politik, kepentingan golongan, ras, agama dan lainnya, Walikota Tanjungpinang Rahma harus membuka diri atas kritik yang mengarah kepadanya. Resiko sebagai kepala daerah, tentu Walikota Rahma harus bertanggungjawab terhadap kondisi darurat yang saat ini dialamatkan ke Tanjungpinang.

Seluruh masukan dari berbagai kalangan, bahkan dari warga biasa pun, seharusnya didengar, lalu dicari solusi terbaik sehingga menimbulkan rasa aman bagi rakyat. Jangan takut dinilai sebagai pemimpin yang gagal, karena kegagalan bisa menjadi motivasi terbaik untuk lebih semangat melayani rakyat.

Pewarta : MD Yasir
Redaktur: M Rakhmat