Apa itu Dinasti Politik, Bagaimana Dampaknya?

Ilustrasi dinasti politik. (Foto:Dok/Net)

Hai sahabat Ulasan. Suhu politik di Tanah Air belakangan ini memanas kembali, khususnya yang berhubungan dengan dinasti politik kekuasaan.

Hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan gugatan terkait syarat minimal calon presiden dan wakil presiden.

Paling tidak ada dua hal yang menarik, yang potensial gugatan tersebut dikabulkan lembaga peradilan tersebut. Apakah itu?

Pertama, soal Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden RI, Joko Widodo yang digadang-gadang akan mendampingi bakal calon presiden (bacapres) Probowo, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres).

Nah, hal kedua yang menarik. Ketua (MK) Anwar Usman merupakan adik ipar dari Joko Widodo. Wah, bisa dong kita menebak apa hasil putusan MK tersebut.

Jauh sebelum mengulas soal itu, ada baiknya Sahabat Ulasan memahami apa itu dinasti politik kekuasaan. Dikutip dari situs resmi MK.

Politik dinasti bisa diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik, yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun, mulai dari ayah kepada anak.

Tujuannya agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Nah, apa yang terjadi seandainya negara atau daerah dikenadalikan dengan Politik Dinasti,,,? yuk kita simak berikut ini.

Menurut dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, bahwa tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik.

Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Menurut Ari Dwipayana, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.

“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite, terlebih dahulu masuk ke institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.

Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan semakin marak kecenderungan korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Jika demikian, maka hal-hal yang mengakibatkan munculnya dinasti Politik adalah:

-Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.
-Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
-Adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.
-Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya korupsi.

Akibat dari politik dinasti ini, maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Menurut Zulkieflimansyah, dampak negatif apabila politik dinasti diteruskan.

Menjadikan partai sebagai mesin politik semata, yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan.

Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, ‘darah hijau’ atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas.

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi, karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).

Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme

Dengan adanya politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga.

Tetapi samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Maka dari itu politik dinasti bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di negara kita Indonesia. Sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki, yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.