Aturan Baru Penangkapan Ikan Dinilai Rugikan Nelayan Natuna

Nelayan
Nelayan Lubuk Lembang usai pulang melaut di Pelabuhan Nelayan Pering, Kecamatan bunguran, Kabupaten Natuna, Kepualuan Riau (Kepri). (Foto :Muhamad Nurman/Ulasan.co)

Penangkapan Ikan Secara Terukur Mengancam Perekonomian Nelayan Tradisional

Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA), Henri mengatakan, kebijakan tersebut akan mengancam nasib nelayan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau.

Henri mengatakan, kebijakan penangkapan terukur melalui penetapan kuota tangkapan dengan alasan mewujudkan ekonomi biru hanya kedok.

Kedok yang dimaksud Henri, adalah untuk melegalkan segelintir pelaku usaha skala besar (investor) untuk mengeruk dan menguras sumberdaya ikan di laut Indonesia.

Dengan begitu, hanya menyisakan sekitar 20 persen sumberdaya ikan untuk puluhan juta nelayan dan pelaku usaha kecil atau nelayan tradisional di Indonesia.

“Pelelangan wilayah tangkap itu lebih bahaya lagi,” ujar Henri.

Ia menyebutkan, alat tangkap nelayan-nelayan tradisional juga belum memadai dan belum bisa untuk bersaing pelaku usaha skala besar (investor).

Dimana nelayan tradisional mereka hanya menggunakan alat tangkap sederhana.

Sedangkan nelayan-nelayan skala industri atau besar menggunakan alat tangkap, yang modern tentunya dengan kapasitas yang besar.

“Alat tangkap mereka sekalanya besar. Sedangkan kita hanya menggunakan pancing. Jadi sangat jelas sekali, bahwa kebijakan penangkapan terukur dengan melelang wilayah tangkapan kepada para investor adalah kebijakan yang menyengsarakan nelayan tradisional. Segelintir orang akan menguasai 80 persen sumberdaya ikan sementara puluhan juta nelayan hanya diberi kuota 20 persen,” urainya.

Baca juga: Banyak Nelayan Tak Tau Manfaat Layanan Registrasi Kapal Ikan

Terkait kuota penangkapan, ia menilai pemerintah nantinya akan kewalahan untuk mengawasi kuota hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan industri atau pelaku usaha skala besar (investor).

Hal tersebut terlihat dari kasus-kasus sebelumnya, seperti belum mampunya pemerintah untuk menangkap nelayan-nelayan asing yang menjarah ikan di laut Natuna Utara.

“Penangkapan ikan dengan kuota siapa yang bisa menjamin, siapa yang bisa mengawasi. Contoh aja kapal yang jelas-jelas ilegal aja kita tak bisa awasi, apalagi nanti mereka udah legal,” tuturnya.

Jika kebijakan itu nantinya akan diterapkan

Lanjut Henri, ia meminta pemerintah untuk memberdayakan nelayan tradisional Natuna akan bisa bersaing dengan nelayan luar.

Caranya, dengan memoderenisasi armada nelayan Natuna berupa alat tangkap yang lebih canggih agar mereka bisa bersaing.

“Kalau dari jawa lengkog, kita juga perlu alat tersebut. Mungkin lengkong mini, sesuai dengan jangkauan tangkapan kita,” ungkapnya.

Meski demikian, ia mengaku akan terus melakukan perjuangan agar kebijakan ini tidak terealisasi atau direvisi kembali.

Agar nantinya tidak merugikan Nelayan Natuna dan anak cucu.

Pasalnya jika hal tersebut terus belanjut laut sumber daya ikan Natuna akan berkurang, seperti yang terjadi di laut-laut Jawa.

Kemudian ia juga mendesak, Pemerintah Kabupaten untuk membantu dalam menyampikan aspirasi atau keluhan mereka terakit kebijakan yang akan di diterpkan itu.

“Kita akan berjuang. Minimal pemerintah meninjau kembali kebijkan tersebut,” pungkasnya.

Senada dengan Henri, Herman selaku Ketua Nelayan Lubuk Lembang, Kecamatan Bunguran Timur mengatakan, kebijakan penangkapan terukur harus dikaji kembali.

Diharapkan, setiap kebijakan harus lebih memperhatikan hak-hak nelayan.

Sebab kebijakan yang sekarang, sangat merugikan nelayan tradisional dan pastinya akan menganggu perekonomian nelayan.

“Kami tidak mau, tidak terima jika tangkapan untuk nelayan tradisonal dibatasi,” tegas Herman.

Terkait wilayah tangkapan untuk nelayan tradisional, Herman menilai kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan di Natuna.

Mengingat 0-12 ml dari garis pantai di Natuna ditumbuhi karang, dan kurang menghasilkan ikan yang mereka butuhkan untuk komsumsi dan jual.

“0-12 mil tidak ada ikan, karena banyak karang,” ungkapnya.

Meski demikian, ia mengaku akan selalu mendukung kebijakan tersebut.

Namun dengan catatan, lanjut Herman, nelayan tradisional di Natuna diberikan hak khusus berupa penambahan jarak wilayah tangkapan, yang sebelumnya hanya 0-12 ml menjadi 0-50 ml.

“50 mil kebawah menjadi wilayah tangkapan tradisional, dan tetap nelayan industri tidak boleh masuk kesana,” pungkas Herman.