Cegah Spionase, Pemerintah Indonesia Diimbau Copot Semua CCTv Buatan China

Ilutrasi perangkat CCTV Hikvision buatan China. (Foto:Net)

JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) mengimbau, agar pemerintah indonesia dan daerah agar mengganti semua perangkat Closed Circuit Television (CCTv) buatan China.

Hal itu lantaran teknologi China disinyalir dimanfaatkan untuk aktivitas spionase atau mata-mata secara ilegal. Bahkan, negara adidaya Amerika Serikat (AS) dan Inggris lebih dulu sadar akan hal tersebut.

AS dan Inggris lebih dulu mengganti semua perangkat CCTV diseluruh kantor pemerintahan. Kemudian, Departemen Pertahanan Australia menyusul dengan memutuskan mengganti semua perangkat pengawas CCTv mereka diseluruh negeri.

Penggantian seluruh perangkat CCTv buatan China itu, dengan alasan karena kekhawatiran dan demi keamanan nasional. DPP PII pun mengimbau, agar Pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama.

Keputusan Australia tersebut, setelah garda terdepan pertahanan negara tersebut bersama beberapa unsur pemerintahan menemukan indikasi dugaan spionase pada 900 kamera pengawas buatan Beijing, dalam audit yang mereka lakukan beberapa waktu lalu.

Hasilnya, telah menemukan lebih dari 200 kamera pengawas “made in China” terpasang di area dalam dan luar kantor berbagai kementerian, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Kejaksaan Agung.

Setidaknya, ada satu unit kamera CCTv buatan China juga ditemukan di area gedung Kementerian Pertahanan Australia. Namun disinyalir masih banyak kamera CCTv serupa di dalam kementerian tersebut.

Menurut DPP PII, Indonesia harus lebih cermat dalam menggunakan perangkat lunak buatan China atas kekhawatiran tentang dugaan spionase ilegal untuk kepentingan intelijen.

Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka menyebut barang-barang China yang murah dan memiliki teknologi terbaru memang menjadi daya tarik luar biasa.

Baca juga: China Dukung Perdamaian Rusia-Ukraina, Zelensky Mau Bertemu Xi Jinping

Sehingga, hampir sebagian besar penggunanya tidak sadar dengan ancaman terhadap keamanan privasi mereka. Sebab, rawan dilakukan aktivitas mata-mata.

“Amerika Serikat dan Inggris lebih dalu sadar dengan keamanan kedaulatan negara mereka, yang rentan ‘disadap’ oleh Beijing,” kata Furqan Raka, Jumat (24/2).

Saat ini Australia, lanjut Furqan, baru sadar jika “mata” China ada di mana-mana. Menteri Pertahanan Australia,. Richard Marles memastikan pihaknya akan mengikuti langkah serupa yang diambil AS dan Inggris.

Marles mengatakan, para perwiranya akan menggeledah dan mencopot semua kamera yang ditemukan di banyak kantor dan fasilitas Departemen Pertahanan.

Senada dengan Marles, Menteri Bayangan Keamanan Siber untuk Partai Liberal, James Paterson juga meminta semua kamera di seluruh kantor pemerintah dihapus.

Lantaran Australia tidak mungkin mengetahui, apakah data yang dikumpulkan oleh perangkat buatan China ini diserahkan kepada badan intelijen Beijing.

“Negara-negara dunia khususnya Indonesia seyogianya mencontoh Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang mulai berani menanggalkan semua peralatan dan tekhnologi China. Ini bicara kedaulatan negara,” kata Furqan Raka.

November 2022, pemerintah Inggris melarang penggunaan kamera yang dibuat oleh Hikvision di situs “sensitif”, dengan alasan ancaman terhadap Inggris.

Sebanyak 67 anggota Parlemen Inggris juga telah mendesak pemerintah, untuk melarang kamera CCTv Hikvision dan Dahua setelah terbit laporan, bahwa peralatan mereka digunakan untuk memata-matai orang Uighur di Xinjiang.

Amerika Serikat bahkan telah memasukkan kamera buatan Hikvision dan Dahua dalam daftar hitam di negara tersebut. Komisi Komunikasi Federal (FCC) AS juga telah mengeluarkan larangan memasang peralatan pengawasan telekomunikasi dan video, dari beberapa merek China terkemuka termasuk Hikvision dan Dahua di Amerika Serikat, untuk melindungi jaringan komunikasi negara tersebut.

“Amerika Serikat mengharamkan impor peralatan pengawasan yang dibuat oleh Hikvision dan Dahua karena dianggap menimbulkan risiko terhadap keamanan nasional,” papar Furqan dikutip sindonews.

Aktivitas pengawasan siber militer Amerika Serikat. (Foto:Ist)
Baca juga: ‘Singa’ Garang Asia Tenggara Tambah 8 Jet Tempur Siluman F-35B STOVL

Mengutip EurAsian Times, pada 2015, seorang insinyur Hikvision bernama Li Yanxiang menuliskan sebuah artikel, tentang pekerjaannya bersama pakar senjata dari Departemen Persenjataan Umum Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China.

Li menjelaskan pada artikel itu, bagaimana teknologi pengawasan itu dapat digunakan untuk kepentingan militer. Bahkan pekerjaannya melibatkan penggunaan teknologi pengawasan untuk meningkatkan akurasi rudal, yang ditembakkan dari sistem permukaan-ke-udara dan permukaan-ke-permukaan menggunakan peluncur tetap dan bergerak.

“(Kita harus) menggunakan kamera pengintai untuk menangkap saat rudal mencapai atau meleset dari target dan mengumpulkan kecepatan angin, suhu, serta kelembapan udara. Kemudian kita dapat menghitung apakah sudut datangnya benar dan di sudut mana rudal memiliki kekuatan penetrasi/mematikan yang paling kuat,” tulis Li.

Li kemudian berbicara singkat, tentang sistem perangkat pengawasan yang akan disediakan Hikvision.

“Kita perlu menggunakan kamera berkecepatan tinggi, yang dapat menangkap setidaknya 200 hingga 500 frame per detik. Dengan banyaknya rekaman, kami perlu membangun server memori lokal dan catu daya,” lanjut Li.

Ini berarti, bahwa teknologi pengawasan dapat digunakan untuk serangan rudal presisi di lokasi strategis seperti pusat pemerintahan penting atau kawasan industri dan sebagainya.

“Negara-negara dunia lainnya termasuk Indonesia masih banyak memasang CCTv buatan China di lokasi-lokasi strategis. Ayo, lindungi negara kita dengan mencopot semua kamera CCTV China,” kata Furqan Raka.

Baca juga: Warga Kamboja Meninggal Terinfeksi Flu Burung Clade, Kemenkes Perketat Pintu Masuk