Dilema Hidup Di Lokasi Rawan Bencana

Dilema Hidup Di Lokasi Rawan Bencana
Dokumen - Seorang warga merapikan tenda bantuan dari Kemensos di Taman Jaya, Pandeglang, Banten, Sabtu (29/1/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj

Menurut dia, potensi gempa bumi megathrust Selat Sunda adalah Magnitudo 8,7, namun bisa saja lepasnya bersamaan dengan segmentasi di atasnya, yaitu megathrust Enggano, dan di sebelah timurnya megathrust Jawa Barat-Tengah.

“Jika pelepasan potensi gempa tersebut terjadi bersamaan, maka magnitudo gempa bumi bisa mencapai 9 atau lebih. Energi yang dihasilkan dari potensi gempa itu mirip dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004,” katanya.

Mitigasi yang Masih Gagap

Sudah tak terhitung berapa kali kementerian/lembaga, pemda, hingga LSM, datang ke wilayah Sumur untuk mengedukasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana. Namun tampaknya mitigasi yang terus digaung-gaungkan tak berdampak banyak. Gempa yang kerap terjadi seharusnya menjadi modal berharga agar kerusakan dan korban jiwa bisa terus direduksi.

Kenyataannya, gempa Magnitudo 6,6 telah merusak 3.078 rumah, dengan rincian 395 unit rusak berat, 692 unit rusak sedang, dan 1.991 unit rusak ringan yang tersebar di 30 kecamatan. Tingginya angka kerusakan, seolah menunjukkan upaya mitigasi ini masih jauh panggang dari api.

Dua desa paling ujung di Kecamatan Sumur, yakni Tamanjaya dan Ujungjaya, bahkan kekurangan papan informasi jalur evakuasi. Selain itu, tidak ada penerangan di jalur evakuasi sehingga menyulitkan pergerakan warga jika terjadi bencana pada malam hari.

Tak berhenti di situ saja, warga kesulitan mengakses informasi terkait situasi terkini setiap kali bencana terjadi. Sebab, jaringan komunikasi sangat terbatas dan tidak menjangkau semua operator seluler. Apalagi saat bencana terjadi, tak jarang sinyal komunikasi benar-benar terputus.

“Kalau gempa, mau gede mau kecil kami lari ke tempat evakuasi karena takut tsunami. Pokoknya lari aja ke bukit,” ujar Deden (32), salah satu warga Desa Ujungjaya.

Pada akhirnya sistem mitigasi belum mengimbangi ancaman gempa, sehingga insting masih menjadi andalan warga dalam upaya penyelamatan diri.

Ketua Pusat Unggulan Iptek Sains dan Teknologi Kegempaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano menyebut upaya memahami dan mengurangi risiko bencana masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti sesegera mungkin diselesaikan.

Close