Implikasi RUU Sisidiknas terhadap Peran dan Fungsi Asosiasi Profesi Guru IPA

Implikasi RUU Sisidiknas terhadap Peran dan Fungsi Asosiasi Profesi Guru IPA
Ilustrasi: Kegiatan Uji Kinerja pada Program Pendidikan Profesi Guru di salah satu sekolah menengah di Kota Bandung, Jawa Barat (Foto: istimewa)

Selanjutnya, didukung dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 7 Ayat 1 telah disebutkan bahwa guru harus memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesional guru, sehingga guru wajib menjadi anggota organisasi profesi yang dituangkan dalam Pasal 41 Ayat 3.

Oleh karena itu, dipandang perlu bahwa profesi guru, khususnya guru sains atau IPA juga membutuhkan wadah atau organisasi demi mendukung keprofesionalan guru sesuai bidang studi masing-masing, sehingga bentuk program pendidikan profesi yang nantinya akan dijalankan menjadi sesuai dengan hakikat sains atau IPA itu sendiri.

Hakikat sains atau IPA merupakan landasan berpijak dalam mempelajari IPA, di mana terdapat tiga aspek dalam hakikat sains atau IPA itu sendiri, yakni sains sebagai produk, sains sebagai proses, dan sains sebagai sikap ilmiah (Firman, 2019), sehingga dibutuhkan peningkatan mutu proses yang relevan dengan pembelajaran sains atau IPA sesuai hakikatnya yang mampu mencetak lulusan calon guru sains atau IPA profesional yang siap menghadapi tantangan dan peluang kehidupan di abad 21.

Organisasi profesi yang sesuai bidang studi, dalam hal ini bagi guru sains atau IPA, akan mendukung tercapainya profesionalisme guru karena tentu saja hal-hal yang diatur di dalamnya akan mengarah khusus pada pembelajaran sains atau IPA.

Maka sesuai RUU Sisdiknas tentang kerjasama antara perguruan tinggi dengan asosisasi profesi akan menjadi semakin terang, sebab tanpa peraturan atau kebijakan yang tegas dari pemerintah terkait asosiasi mana yang dapat bekerjasama dengan penyelenggara pendidikan profesi, maka Pasal 56 Ayat 5 dalam RUU Sisdiknas hanya akan menjadi angan-angan belaka yang justru membingungkan para pelaku profesional di dalamnya.

Di samping itu, dengan peraturan yang jelas dan tegas dari pemerintah terkait asosiasi yang berhak menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan profesi tentu saja akan berpengaruh ke bentuk atau landasan hukum asosiasi profesi itu sendiri dan terbentuknya pola kerjasama yang logis antara asosiasi guru, khususnya guru sains atau IPA, dengan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi tersebut.

Singkat kata, RUU Sisdiknas yang mengatur kewajiban penyelenggara pendidikan profesi melalui kerjasama antara perguruan tinggi dengan asosiasi profesi sudah baik dan hadir untuk melengkapi UU Nomor 20 Tahun 2003 yang memang belum mengatur perihal kerjasama antara perguruan tinggi dengan asosiasi profesi bagi guru. Namun perlu diperjelas lagi mengenai asosiasi profesi mana yang berhak menyelenggarakan pendidikan profesi, khususnya bagi guru sains atau IPA, jika di Amerika telah memiliki wadah asosiasi profesi guru sains atau IPA yakni National Science Teaching Association (NSTA), maka bagaimana implementasinya di Indonesia, sehingga perlu dikaji kembali urgensi keberadaan asosiasi profesi khusus guru sains atau IPA itu sendiri. (*)

Oleh: Tim Kajian Pedagogik, Program Studi Doktoral Pendidikan IPA 2022, Universitas Pendidikan Indonesia